Edukasippkn.com
- Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia yakni sejak Proklamasi 17 Agustus 1945
sampai sekarang Indonesia telah mengalami beberapa kali pergantian
Undang-undang Dasar atau Konstitusi yang digunakan sebagai hukum dasar dalam
penyelenggaraan Negara Indonesia. Secara formal Indonesia telah mengalami 4
(empat) kali atau periode berlakunya Konstitusi atau Undang-undang Dasar.
Secara materiil ada 3 (tiga) macam konstitusi atau Undang-undang Dasar yang
pernah berlaku di Indonesia.
Masa
berlakunya konstitusi-konstitusi tersebut di atas sebagai berikut:
1.
Undang-undang
Dasar Proklamasi yang dikenal dengan UUD 1945 Periode pertama. Masa berlakunya
18 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949.
2.
Konstitusi
Republik Indonesia Serikat. Masa berlakunya 27 Desember 1949 sampai dengan 17
Agustus 1950.
3.
Undang-undang
Dasar Sementara 1950. Masa berlakunya 17 Agustus 1950 sampai dengan 5 Juli
1959.
4.
Undang-undang
Dasar 1945 Periode kedua. Masa berlakunya 5 Juli 1959 sampai dengan tahun 1998.
5.
Undang-undang
Dasar 1945 Hasil Amandemen. Masa berlakunya mulai tahun 1999 sampai dengan
sekarang.
Tabel.
Perbandingan Sistem Ketatanegaraan antara UUD 1945, Konstitusi RIS, dan UUD
Sementara 1950
No
|
Aspek/ Bidang
|
UUD 1945
Proklamasi
|
Konstitusi
RIS
|
UUDS 1950
|
UUD 1945
Amandeme
|
1
2
3
|
Bentuk
negara
Bentuk
pemerintahan Sistem pemerintahan
|
Kesatuan
Republik
Presidensial
|
Serikat
Republik
Parlementer
|
Kesatuan
Republik
Parlementer
|
Kesatuan
Republik
Presidensial
|
1. Undang-undang
Dasar 1945 Periode Pertama
Undang-undang
Dasar 1945 merupakan UUD yang pertama kali berlaku di Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Undang-undang Dasar negara yang berlangsung antara 18 Agustus 1945
sampai dengan 27 Desember 1949 sering disebut UUD Proklamasi dan dikenal dengan
nama UUD 1945. Undang-undang Dasar tersebut hanya merupakan sebagian dari hukum
dasarnya negara yakni
hukum
dasar yang tertulis.
Undang-undang
Dasar 1945 tersebut diberlakukan melalui sidang PPKI pertama yaitu tanggal 18
Agustus 1945. Rancangan UUD 1945 tersebut merupakan hasil kerja lembaga BPUPKI.
Naskah resmi UUD 1945 itu dimuat di dalam berita RI tahun II No 7 tahun 1946.
Keseluruhan naskah UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang tubuh UUD 1945 dan
Penjelasan. UUD 1945 dimaksudkan bersifat sementara , hanya untuk memenuhi
berdirinya negara proklamasi . Sebagaimana dikatakan oleh Ir. Soekarno selaku
Ketua PPKI sekaligus sebagai ketua Panitia perancang bahwa “UUD yang ditetapkan
tanggal 18 Agustus 1945 adalah sebagai UUD yang bersifat sementara.
Secara
formal UUD 1945 ditetapkan berlaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
namun dalam praktiknya belum dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Hal itu
dikarenakan antara lain
:
a) Segenap waktu, tenaga dan biaya yang ada daya dicurahkan dalam rangka
membela dan mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamasikan. Hal itu
dilakukan mengingat pihak kolonial Belanda dengan membonceng tentara sekutu
masih ingin kembali menjajah Indonesia sebagai bekas jajahannya yang telah
merdeka; b) Adanya pertentangan politik dan ideologi di intern atau dalam
negara sendiri antar kelompok maupun pribadi yang bermuara pada gerakan atau
pemberontakan yang hendak merobek negara kesatuan RI yang berdasarkan
Pancasila, antara lain:
a.
pemberontakan
PKI tahun 1948 oleh kelompok revolusioner yang menghendaki bentuk dan sistem
kenegaraan mendasarkan pada ideologi komunis; serta
b.
pemberontakan
DI/TII oleh kelompok revolusioner yang menghendaki bentuk dan sistem ketatanegaraan yang
mendasarkan pada agama tertentu sebagai ideologinya.
Masa
ini dapat dikatakan masa pancaroba yang segala dana, daya, potensi, dan
perhatian bangsa dicurahkan untuk memenangkan perang kemerdekaan. Dengan adanya
pemusatan perhatian untuk
perang
kemerdekaan itu berpengaruh besar terhadap terciptanya situasi nasional yang
sesuai harapan bangsa dan negara. Adapun situasi dan kondisi yang terjadi
antara lain berikut ini :
a.
Sistem
pemerintahan dan kelembagaan negara yang ditentukan dalam Undang-undang Dasar
1945 belum dapat dilaksanakan sepenuhnya.
b.
Lembaga
MPR dan DPR belum sempat dibentuk.
c.
Aturan
peralihan Pasal IV yang menyatakan, “Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut
Undang-undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan
bantuan sebuah komite nasional”, terus diberlakukan.
Berlakunya
Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 yang berkepanjangan berpengaruh negatif
terhadap pelaksanaan UUD 1945. Melalui pasal IV AP tersebut memberikan
kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden demi stabilitas pelaksanaan fungsi
negara dan fungsi revolusi. Hal ini menyebabkan adanya angapan dari dunia
internasional bahwa Indonesia adalah negara totaliter. Selain itu adanya
kesenjangan
antar lembaga negara. Kekuasaan Presiden sangat besar dan luar biasa. Karena
dengan diberikan kekuasaan seperti yang diatur pada pasal IV AP ini berarti
roda pemerintahan sangat bergantung kepada Presiden, sedangkan lembaga-lembaga
lainnya kurang berperan, karena semua lembaga yang telah ada hanya sebagai
pembantu Presiden. Dalam kondisi semacam ini menimbulkan banyak permasalahan
pemerintahan yang tidak terselesaikan berdasarkan UUD 1945.
Untuk
menghilangkan anggapan dunia dan mengatasi permasalahan pemerintahan tersebut,
maka pemerintah mengambil kebijakan-kebijakan sebagai berikut, antara lain :
1)
Tanggal
16 Oktober 1945 Wakil Presiden atas usul KNIP mengumumkan Maklumat Wakil
Presiden No. X untuk membatasi kekuasaan Presiden yang sangat besar. Maklumat
tersebut memberikan kekuasaan kepada MPR dan DPR (dalam hal ini KNIP)
bersama-sama Presiden menetapkan Undang-Undang dan GBHN. Dengan demikian,
semula KNIP hanyalah sebagai pembantu Presiden berubah menjadi badan yang
diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN.
2)
Tanggal
3 November 1945 dikeluarkan maklumat pemerintah, yakni tentang Pembentukan
Partai Politik sebagai sarana demokrasi. Hal ini dilakukan untuk memberi
tahukan kepada dunia bahwa Indonesia adalah negara demokrasi bukan negara
totaliter sebagaimana yang dikesankan dunia selama ini. Dengan dikeluarkan
maklumat pemerintah tanggal 3 November 1945 tersebut memberikan kebebasan
kepada masyarakat membentuk partai-partai politik di tanah air, sehingga
lahirlah sistem multipartai. Demokrasi yang diterapkan di Indonesia adalah
demokrasi Pancasila yang artinya sistem pemerintahannya berdasarkan nilai-nilai
filsafat yang terkandung dalam Pancasila.
3)
Tanggal
14 November 1945 keluarlah maklumat pemerintah yang mengatur bahwa perdana
menteri bersama-sama dengan menteri-menterinya harus bertanggung jawab kepada
KNIP yang tugas sehari-harinya dilaksanakan oleh BP KNIP. Hal ini mengandung
arti bahwa adanya perubahan dalam sistem pemerintahan. Semula sebelum keluarnya
maklumat pemerintah 14 November 1945 sistem pemerintahan yang dianut adalah
sistem presidensiil, kemudian berubah menjadi sistem pemerintahan parlementer.
Sejak
awal berdirinya negara Indonesia, sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem
presidensiil. Sistem Kabinet presidensiil adalah suatu sistem pemeintahan di
mana kedudukan seorang Presiden selain sebagai kepala negara juga sebagai
kepala pemerintahan. Sebagai kepala pemerintahan, seorang Presiden dalam
menjalankan tugasnya dibantu para menteri yang diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden. Oleh karena itu, para menteri dalam menjalankan tugas harus tunduk
dan bertanggung jawab kepada Presiden. Sistem ini dinamakan sistem pemerintahan
presidensil atau sistem kabinet Presidensil. Namun demikian, sejak
dikeluarkannya maklumat pemerintah tanggal 14 November 1945, sistem
pemerintahan presidensil diubah menjadi sistem pemerintahan parlementer.
Dalam
sistem parlementer, kekuasaan pemerintahan dipegang oleh seorang perdana
menteri dan/atau para menteri. Dalam menjalankan tugasnya menurut UUD 1945 para
menteri harus dipertanggung jawabkan kepada KNIP yang berfungsi sebagai DPR atau
pemegang kekuasaan legislatif. Dalam sistem ini Presiden tidak lagi menjadi
kepala pemerintahan. Para menteri pun tidak lagi bertanggung jawab kepada
presiden sebagaimana ketentuan pasal 17 UUD 1945.
Situasi
dan kondisi tersebut sangat berpengaruh terhadap kehidupan berbangsa dan
bernegara, yang mengakibatkan makin meningkatnya ketidakstabilan di bidang
politik, ekonomi, pemerintahan, dan keamanan. Tetapi berkat kebulatan tekad
seluruh rakyat waktu itu, yang terus berjuang menegakkan kemerdekaan, akhirnya
bangsa Indonesia dapat berhasil mempertahankan kemerdekaannya.
2. Konstitusi
Republik Indonesia Serikat (RIS)
Konstitusi
Republik Indonesia Serikat (RIS) merupakan konstitusi yang kedua dan berlaku
sejak 27 Desember 1949 sampai tanggal 17 Agustus 1950, dalam jangka waktu
kurang lebih delapan bulan.
Sejak
awal kemerdekaan Indonesia, sengketa antara Indonesia dan Belanda terus
berlangsung. Hal ini dikarenakan oleh adanya keinginanan dari pihak Belanda
menjajah kembali Indonesia. Dengan membonceng tentara sekutu dan melalui
ageresi meliter yang dilakukan pihak Belanda menjadi bukti sejarah. Sementara
di sisi lain bangsa Indonesia sudah sepakat dan bertekad bulat “sekali merdeka
tetap meredeka”.
Pertempuran
terus terjadi di mana-mana. Hal ini akhirnya mengundang keterlibatan PBB untuk
ikut serta menyelesaikan persengketaan yang terjadi. Melalui sebuah konpernsi
atau perundingan yang dikenal dengan Konperensi Meja Bundar (KMB) berlangsung
di Den Haag tanggal 23 Agustus 1949 sampai tanggal 2 Nopember 1949. Pada
koperensi tersebut Indonesia dengan terpaksa harus menerima isi perjanjian KMB.
Adapun isinya ada tiga buah persetujuan pokok, sebagai berikut ini :
a.
Berdirinya
Negara Republik Indonesia Serikat yang tidak sesuai dengan cita-cita Proklamasi
17 Agustus 1945 dan UUD 1945. Karena yang dikehendaki bangsa Indonesia adalah
kehidupan yang berkebangsaan Indonesia dalam wadah kesatuan RI yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
b.
Berdasarkan
Konstitusi RIS Negara Kesatuan Republik Indonesia terpaksa berubah menjadi
negara Republik Indonesia Serikat.
c.
Didirikan
Uni-Netherland merupakan persetujuan pemerintah Belanda dan pemerintah Republik
Indonesia Serikat.
Dengan
terbentuknya Negara Republik Indonesia Serikat, maka sejak tanggal 27 Desember
1949 berlaku Konstitusi Republik Indonesia Serikat. UUD 1945 tidak berlaku
sebagai UUD Negara Federal
melainkan
hanya berlaku sebagai UUD Negara Bagian Republik Indonesia yang berpusat di
Yogyakarta, dalam rangka pemberlakuan Konstitusi Republik Indonesia Serikat
(RIS).
Negara
Kesatuan Republik Indonesia menjadi Negara Federasi Republik Indonesia Serikat
(RIS). Berdasarkan Konstitusi RIS Ir. Soekarno ditetapkan sebagai Presiden.
Undang-Undang Dasar 1945 hanya berlaku di Negara Republik Indonesia sebagai
negara bagian, yang meliputi sebagian pulau Jawa dan Sumatra dengan ibukota
Yogyakarta.
Sistem
ketatanegaraan menurut konstitusi RIS, bahwa negara federasi merupakan
penggabungan dari beberapa negara bagian tanpa menghapuskan ciri-ciri khas
masing-masing negara bagian. Contohnya, negara kesatuan RI yang beribukota di
Yogyakarta dan merupakan negara bagian dari federasi RIS, sistem
pemerintahannya masih berdasarkan pada UUD 1945 untuk kepentingan ke dalam.
Sedang untuk kepentingan keluar berdasarkan konstitusi RIS. Dalam hal sistem
pemerintahan menurut konstitusi RIS pada negara federasi
Presiden
sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dan parlemen atau DPR sebagai pemegang
kekuasaan legislatif.
Menurut
Konstitusi RIS, Presiden dalam menjalankan tugas pemerintahan harus bertanggung
jawab kepada parlemen, sehingga sistem pemerintahannya dinamakan sistem
pemerintahan parlementer. Adapun wilayah Republik Indonesia Serikat terdiri
atas daerah-daerah berikut ini.
Negara
bagian yang terdiri : Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, Negara
Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatra Timur, dan Negara
Sumatra Selatan.
Satuan-satuan
kenegaraan yang tegak sendiri terdiri atas: Jawa Tengah, Bangka, Belitung,
Riau, Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara, dan
Kalimantan Timur. Daerah-daerah selebihnya yang bukan daerah bagian.
Konstitusi
RIS ini juga masih bersifat sementara, walaupun namanya tidak disebutkan
sementara. Hal ini tampak dari amanat konstitusi agar membentuk konstituante
(badan pembentuk UUD) yang bersama-sama dengan pemerintah secepatnya menetapkan
konstitusi RIS (Pasal 186 Konstitusi RIS).
Bentuk
susunan federasi (serikat) nampaknya bukan bentuk susunan yang dikehendaki oleh
rakyat. Hal ini terbukti dengan adanya tuntutan dari berbagai daerah untuk
bergabung dengan Negara Republik Indonesia (RI Yogyakarta) yang tetap
memperjuangkan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dicita-citakan sejak 17 Agustus 1945. Penggabungan-penggabungan semacam itu
memang dimungkinkan dan diatur dalam Konstitusi RIS (Pasal 44). Sehingga sampai
bulan Mei 1950, RIS hanya tinggal 3 negara bagian saja, yaitu: RI, Negara
Indonesia Timur, dan Negara Sumatra Timur.
Untuk
menyelesaikan masalah tersebut, pada akhirnya diadakan persetujuan antara
Pemerintah RIS (yang mewakili Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatra Timur)
dengan Pemerintah Republik Indonesia. Persetujuan itu ditandatangani pada
tanggal 19 Mei 1950. Dalam piagam persetujuan itu, kedua belah pihak bersepakat
untuk melaksanakan negara kesatuan dengan cara mengubah Konstitusi RIS menjadi
Undang-Undang Dasar Sementara.
Untuk
mewujudkan persetujuan itu, dibentuklah panitia bersama RIS dan RI. Panitia ini
bertugas menyusun Rancangan UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hasil kerja
panitia yang diketuai oleh Mr. Soepomo dari RIS dan A. Halim dari Republik
Indonesia, diterima baik oleh RIS maupun RI, sehingga dengan UU Federal No. 7
Tahun 1950, ditetapkanlah perubahan Konstitusi RIS menjadi Undang-Undang Dasar
Sementara (UUDS). Undang-undang No. 7 Tahun 1950 menetapkan bahwa UUDS sebagai
perubahan dari Konstitusi RIS mulai berlaku sejak tanggal 17 Agustus 1950.
Jadi, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasar UUDS 1950 ini
mulai sejak 17 Agustus 1950.
3. Undang-undang
Dasar Sementara 1950 (UUDS’50)
Negara
Federal Republik Indonesia Serikat tidak dapat bertahan lama. Berkat kesadaran
para pemimpin-pemimpin Republik Indonesia Serikat, dengan dipelopori oleh pemimpin-pemimpin
yang republikan, pada tanggal 17 Agustus 1950 susunan negara Federal Republik
Indonesia Serikat berubah kembali menjadi susunan negara kesatuan Republik
Indonesia. Tetapi masih menggunakan Undang-Undang Dasar yang lain dari
Undang-Undang Dasar 1945, yaitu menggunakan Undang-undang Dasar Sementara
Republik Indonesia tahun 1950 (UUDS 1950). Menurut Undang-undang Dasar ini
sistem pemerintah yang dianut adalah sistem pemerintahan parlementer.
Sesuai
dengan namanya, UUDS adalah bersifat sementara. Hal ini sesuai dengan ketentuan
pasal 134, dimana ditentukan bahwa konstituante (Sidang Pembuat UUD)
bersama-sama dengan pemerintah selekas-lekasnya menetapkan UUD RI yang akan
mengantikan UUDS ini.
Konstituante
sebagimana dimaksud pasal 134 ini berhasil dibentuk berdasarkan hasil pemilihan
umum yang diselenggarakan pada bulan Desember 1955. Pemilihan umum ini
dilaksanakan berdasar UU No. 7 Tahun 1953. Konstituante hasil pemilihan umum
ini diresmikan pada 10 November 1956 di Bandung.
Konstituante
yang telah diresmikan ini bekerja untuk menetapkan UUD sebagai pengganti UUDS.
Namun demikian, setelah bekerja kurang lebih dua setengah tahun, ternyata belum
pula dapat menyelesaikan sebah UUD. Perbedaan pendapat dari partai-partai yang
ada dalam konstituante sangat tajam. Sementara itu, pertentangan pendapat
diantara partai-partai politik tidak hanya di dalam badan konstituante, di
dalam DPR, dan Badan-badan Perwakilan lainnya, tetapi juga di dalam Badan-badan
Pemerintahan.
Untuk
mengatasi persoalan tersebut maka kesalahan ditimpakan pada sistem
ketatanegaraan yakni sistem demokrasi liberal. Sistem demokrasi liberal yaitu
sistem pemerintahan yang cenderung dapat memberikan perlindungan pada
kepentingan individu atau kelompok terutama kaum liberal. Oleh karena itu,
kabinet karya dalam sidangnya tanggal 19 Pebruari 1959 mengambil keputusan
untuk kembali ke UUD 1945. Dalam rangka melaksanakan ide demokrasi terpimpin,
yaitu sistem pemerintahan yang memungkinkan munculnya pemerintahan otoriter.
Keputusan ini berdasar asumsi bahwa UUD 1945 cukup demokratis, sesuai dengan
kepribadian bangsa Indonesia, dan lebih menjamin pemerintah yang stabil setiap
5 tahun ke depan.
Dalam
sidang pleno konstituante tanggal 22 April 1959, Presiden Soekarno, atas nama
pemerintah, berpidato yang berisi anjuran kepada konstituante untuk menerima
berlakunya kembali UUD 1945, sebagaimana dimaksud Keputusan Dewan Menteri 19
Pebruari 1959. Untuk menangggapi anjuran pemerintah tersebut, konstituante
kemudian mengadakan sidang untuk menentukan sikap.
Setelah
melalui berbagai macam pandangan umum, maka akhirnya diadakanlah pemungutan
suara mengenai penerimaan kembali UUD 1945. Namun begitu, dari hasil pemungutan
suara yang dilaksanakan sampai 3 kali, yaitu pada 30 Mei 1959, 1 Juni 1959, dan
2 Juni 1959, ternyata tidak dapat menghasilkan suara yang diperlukan, yaitu
diterima dengan sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah suara anggota yang
hadir (pasal 137 ayat 2 UUDS). Keadaan itulah yang kemudian mendorong Presiden
Soekarno untuk mengeluarkan dekrit, yang kemudian dikenal dengan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959. Dekrit Presiden tersebut memutuskan:
a.
menetapkan
pembubaran konstituante;
b.
menetapkan
UUD 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, dan tidak berlakunya lagi UUDS; serta
c.
pembentukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung
Sementara (DPAS).
Pemberlakuan
kembali UUD 1945 berdasar Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu ternyata diterima
oleh seluruh rakyat Indonesia. Bahkan DPR hasil Pemilu 1959, dalam sidangnya
pada 22 Juli 1959, secara aklamasi menerima dan bersedia untuk bekerja atas
dasar UUD 1945.
Dekrit
itu diumumkan oleh Presiden dari Istana Merdeka di hadapan rakyat pada tanggal
5 Juli 1959, pada hari Minggu pukul 17.00. Dekrit tersebut termuat dalam
Keputusan Presiden No 150 tahun 1959 dan diumumkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia No 75 tahun 1959. Dengan demikian berlakulah kembali UUD
1945 dalam kurun waktu sejak 5 Juli 1959 sampai tahun 1998, sebelum akhirnya
diamandemen di era reformasi.
4. Undang-undang
Dasar 1945 Periode Kedua
a).
Masa Orde Lama (5 Juli 1959 - 11 Maret 1966)
Dengan
diumumkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 berlaku kembali dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang demokrasi. Demokrasi yang dimaksud adalah
demokrasi yang konstitusional.
Demokrasi
Konstitusional merupakan demokrasi yang mencita-citakan tercapainya
pemerintahan yang kekuasaannya dibatasi oleh konstitusi. Demokrasi ini
dicirikan oleh adanya pemerintahan yang kekuasaannya dibatasi oleh konstitusi
(UUD) dan tunduk sepenuhnya pada hukum dasar.
Dalam
demokrasi yang konstitusional, penyelesaian perselisihan dimungkinkan dicapai
dengan cara damai dan melembaga. Kalaupun ada perubahan politik, hal itu dapat
dilakukan secara damai. Pergantian pimpinan terlaksana secara teratur.
Kekerasan dan paksaan dalam politik diminimisasi. Keanekaragaman dalam
masyarakat dipandang ajar, yang tercermin dalam keanekaragaman pendapat
masyarakat.
Setelah
UUD 1945 kembali diberlakukan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, rakyat
Indonesia menaruh harapan akan kehidupan ketatanegaraan yang stabil dan
pemerintahan presidensial yang demokratis. Sehingga dapat kembali berfungsinya
semua alat-alat perlengkapan negara sebagai perwujudan kehendak rakyat. Namun,
kenyataan berkehendak lain. Kondisi ketatanegaraan demokratis yang diharapkan
seluruh rakyat Indonesia justru menjadi pemerintahan yang otoriter.
Pemerintahan otoriter tersebut terwujud dalam sistem pemerintahan Demokrasi
Terpimpin.
Penerapan
Demokrasi Terpimpin menyebabkan penyimpangan-penyimpangan terhadap Pancasila
dan UUD 1945. Penyimpangan tersebut di antaranya adalah sebagai berikut ini.
1)
Penyimpangan
ideologis, yakni konsepsi Pancasila berubah menjadi konsepsi Nasakom
(Nasionalis, Agama, dan Komunis).
2)
Pelaksnaaan
demokrasi terpimpin cenderung bergeser menjadi pemusatan kekuasaan pada
Presiden/Pemimpin Besar Revolusi dengan wewenang melebihi yang ditentukan oleh
UUD 1945.
3)
MPRS
melalui Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963, mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup.
4)
Pada
1960, DPR hasil pemilu 1955 dibubarkan oleh presiden karena RAPBN yang diajukan
pemerintah tidak disetujui oleh DPR. Kemudian dibentuk DPR Gotong-royong tanpa
melalui Pemilu.
5)
Hak
budget DPR tidak berjalan pada tahun 1960 karena pemerintah tidak mengajukan
RUU APBN untuk mendapatkan persetujuan dari DPR sebelum berlakunya tahun
anggaran yang bersangkutan.
6)
Pemimpin
lembaga tertinggi (MPRS) dan lembaga tinggi (DPR) negara dijadikan menteri
negara, yang berarti berfungsi sebagai pembantu presiden.
Kesemua
itu merupakan catatan dan pengalaman khusus bagi bangsa Indonesia terhadap pelaksanaan
UUD 1945. Penyimpangan-penyimpangan tersebut bukan saja mengakibatkan tidak
berjalannya sistem yang ditetapkan dalam UUD 1945 melainkan juga mengakibatkan
memburuknya keadaan politik dan keamanan serta terjadinya kemerosotan di bidang
ekonomi. Keadaan itu mencapai puncaknya dengan terjadinya pemberontakan
G-30-S/PKI.
Dalam
sejarah kemerdekaan Indonesia PKI telah 3 kali mengkhianati negara dan bangsa
Indonesia dengan melakukan pemberontakan dengan tujuan mengubah dasar negara
Pancasila dengan dasar negara lain. Dalam rangka mengatasi keadaan itu Presiden
mengeluarkan surat perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto selaku Panglima
Angkatan Darat untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan. Karena surat
perintah itu dikeluarkan pada tanggal 11 Maret 1966 disebutlan Surat Perintah
11 Maret 1966, yang disingkat Supersemar.
b). Masa Orde Baru
(11 Maret 1966 – 21 Mei 1998)
Dengan
berlandaskan surat perintah 11 Maret Letnan Jenderal Soeharto mengeluarkan
keputusan atas nama Presiden pimpinan besar revolusi membubarkan PKI dan
ormas-ormasnya. Keputusan ini disambut oleh seluruh rakyat Indonesia. Karena itu,
11 Maret 1966 oleh rakyat dianggap sebagai lahirnya orde baru yaitu orde atau
tatanan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara atas dasar pelaksanaan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Orde baru juga disebut orde
pembangunan karena orde baru bertekad melaksanakan pembangunan nasional sebagai
perjuangan untuk mengisi kemerdekaan.
Orde
baru telah berhasil menyalurkan aspirasi rakyat dalam mengadakan koreksi
terhadap penyimpangan-penyimpangan pada jaman orde lama dan menggariskan
pembaharuan dengan cara yang konstitusional yaitu melalui sidang-sidang MPRS,
yaitu seperti Sidang Umum MPRS IV Tahun 1966, Sidang Istimewa MPRS tahun 1967,
dan Sidang Umum MPRS V tahun 1968.
Sejumlah
ketetapan MPRS yang bersifat prinsipil telah dihasilkan dalam Sidang Umum MPRS
IV tahun 1966, antara lain:
1)
Tap
MPRS No. IX/MPRS/1966, yang menyatakan bahwa sebelum MPR hasil pemilihan umum
terbentuk, MPRS berkedudukan dan berfungsi sebagai MPR serta semua
lembaga-lembaga negara didudukkan kembali pada posisi dan fungsi sesuai UUD
1945.
2)
Tap
MPRS No. XI/MPRS/1966, yang menentukan bahwa Pemilu yang bersifat langsung,
umum, bebas dan rahasia diselenggarakan selambat-lambatnya pada tanggal 5 Juli
1968.
3)
Tap
MPRS No. XXIII/MPRS/1966, mengenai Pembaharuan
Kebijaksanaan Landasan Ekonomi Keuangan dan pembangunan.
4)
Tap
MPRS No. XVIII/MPRS/1966, yang dengan permintaan maaf menarik kembali
pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi menjadi Presiden seumur hidup.
5)
Tap
MPRS No. XXII/MPRS/1966, mengenai Penyerdehanaan kepartaian, keormasan dan
kekaryaan.
6)
Tap
MPRS No. XXV/MPRS/1966, tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia. Pernyataan
sebagai Organisasi Terlarang di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia dan
larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme (semacam pengukuhan keputusan Pengemban
Supersemar).
Pada
pertengahan tahun 1997, Indonesia mulai mengalami krisis yang bersifat multi
dimensi. Krisis ini mengakibatkan makin menurunnya kinerja pemerintahan. Krisis
terus berlangsung dan memuncak pada tuntutan agar Presiden Soeharto mundur dari
jabatan. Presiden Soeharto turun dari jabatan kepresidenan tepat pada tanggal
21 Mei 1998 dan selanjutnya diganti oleh Presiden Habibie. Meskipun
pemerintahan sudah diganti tetapi kepercayaan masyarakat kepada pemerintah
semakin menurun. Maka, MPR menggelar sidang istimewa pada Bulan November 1998,
yang menghasilkan beberapa Ketetapan MPR, sebagai berikut ini :
1)
Ketetapan
MPR RI No. VIII/MPR/1998, tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia No. IV/MPR/1993 tentang Referendum.
2)
Ketetapan
MPR RI No. XI/MPR/1998, tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
3)
Ketetapan
MPR RI No. XIII/MPR/1998, tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil
Presiden Republik Indonesia.
4)
Ketetapan
MPR RI No. XV/MPR/1998, tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan dan
Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
5)
Ketetapan
MPR RI No. XVI/MPR/1998, tentang Hak Asasi Manusia.
6)
Ketetapan
MPR RI No. XVIII/MPR/1998, tentang Pencabutan Ketetapan MPR RI No. II/MPR/1978
tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa)
dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara.
c). Masa Reformasi
(Mulai 21 Mei 1998–Sekarang)
Peristiwa
sejarah tanggal 21 Mei 1998, yaitu ketika Presiden Soeharto menyatakan berhenti
dari jabatannya setelah terjadi unjuk rasa besar-besaran, merupakan awal dari
era reformasi. Reformasi yang dimotori mahasiswa dan pemuda itu menuntut adanya
perubahan-perubahan, diantaranya perubahan konstitusi yang dipandang belum
cukup memuat landasan bagi kehidupan demokratis, pemberdayaan rakyat, dan
penghormatan HAM. Oleh sebab itu, UUD 1945 perlu diubah untuk disesuaikan
dengan tuntutan perkembangan, kebutuhan masyarakat, serta perubahan zaman.
Tuntutan
reformasi total yang dilontarkan
masyarakat, khususnya mahasiswa menjelang lengsernya Presiden Soeharto
ada enam hal, antara lain :
1)
Amandemen
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2)
Penghapusan
doktrin dwifungsi ABRI.
3)
Penegakan
supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN).
4)
Desentralisasi
dan hubungan yang adil antara ousat dan daerah atau otonomi daerah.
5)
Mewujudkan
kebebasan pers.
6)
Mewujudkan
kehidupan demokrasi.
Tuntutan
amandemen UUD 1945 terus berkembang. Komponen masyarakat, yang dipelopori
mahasiswa, pers, dan LSM secara konsisten menuntut diagendakannya amandemen UUD
1945. Pemerintah baru didukung oleh realitas politik di parlemen maupun partai
politik pun mendorong dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945. Selanjutnya
tuntutan yang disertai berbagai masukan tersebut ditampung dan dirumuskan oleh
wakil-wakil rakyat yang ada di dalam MPR.
Langkah
awal yang dilakukan MPR dalam proses Amandemen UUD 1945 sebagai berikut.
1)
MPR
memutuskan untuk mencabut Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum.
Dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tersebut ditegaskan bahwa MPR
berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak dan tidak akan
melakukan perubahan terhadapnya, serta akan melaksanakannya secara murni dan
konsekuen. Namun apabila MPR berkehendak untuk mengubah UUD 1945, maka terlebih
dahulu MPR harus meminta pendapat rakyat melalui Referendum. Karena itulah
sebelum melakukan perubahan terhadap UUD 1945, MPR terlebih dahulu mencabut
Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tersebut, agar proses perubahan UUD 1945
menjadi lebih mudah.
2)
MPR
mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan
Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Ketentuan Pasal 1 Ketetapan
tersebut menyatakan “Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia memegang
jabatan selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam
jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”
MPR
mengeluarkan Ketetapan MPR nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Selanjutnya
pelaksanaan perubahan UUD 1945 dilakukan oleh MPR melalui empat kali
persidangan dalam kurun waktu empat tahun, yaitu dari tahun 1999 sampai dengan
tahun 2002.
5. Amandemen UUD 1945
Undang-undang
Dasar merupakan suatu dokumen negara yang dinamis dan menjadi ukuran
penyelenggaraan negara itu sendiri. Undang-Undang Dasar 1945 pada perkembangan
hidup bangsa dan tantangan hidup, awal abad XXI dirasa belum cukup menjadi
landasan bagi kehidupan yang demokratis, pemberdayaan rakyat, dan penghormatan
HAM. Selain itu di dalamnya masih terdapat pasal- pasal yang menimbulkan
multitafsir dan membuka peluang bagi penyelenggara yang otoriter, sentralistik,
tertutup, dan KKN yang dapat menimbulkan kemerosotan kehidupan nasional di
berbagai bidang kehidupan.
Ni’matul
Huda dalam bukunya yang berjudul Hukum Tata Negara Indonesia mengatakan bahwa
MPR melakukan amandemen UUD 1945 karena beberapa alasan, antara lain :
1).
Alasan filosofis
UUD
1945 disusun dan dirancang oleh BPUPKI. Sebagai manusia biasa anggota BPUPKI
tidak akan pernah sampai ke tingkat kesempurnaan. Oleh karenanya UUD 1945 yang
dihasilkan tetap memiliki berbagai kelemahan maupun kekurangan.
2)
Alasan historis
Sejak
semula pembuatannya UUD 1945 dimaksudkan bersifat sementara, sebagaimana yang
dinyatakan oleh Ir. Soekarno sebagai ketua PPKI dalam rapat pertama pada
tanggal 18 Agustus 1945, yang mengatakan sebagai berikut :
“….tuan-tuan
semuanya tentu mengerti bahwa Undang Undang Dasar yang kita buat sekarang ini
adalah Undang Undang Dasar Sementara. Kalau boleh saya memakai perkatakaan “ini
adalah Undang Undang Dasar kilat”, nanti kalau kita telah bernegara dalam
suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali MPR yang
dapat membuat Undang Undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna…”
(dalam Huda, 2005 :139).
3)
Alasan yuridis
Secara
yuridis para perumus UUD 1945 telah begitu arif menunjukkan kepada kita dengan
mencantumkan cara perubahan UUD 1945 dalam pasa 37. Para penyusun UUD 1945
nampaknya sangat sadar akan perubahan yang terus terjadi. Apa yang disusun
dalam UUD 1945 tidak lupt akan aus termakan masa. Untuk itu perlu dilakukan
pembaharuan-pembaharuan sesuai dinamika kehidupan masyarakat, bangsa dan
Negara. Dalam hal inilah perumus UUD 1945 membuat pasal perubahan yang
ditetapkan dalam pasal 37.
4)
Alasan substantif
Adapun
kelemahan dalam hal isinya, antara lain : (a) kekuasaan eksekutif terlalu
dominan tanpa disertai dengan check and balances yang memadai (disebut
–eksekutif heavy), (b) rumusan kalimat pada pasal-pasal UUD 1945 sangat
sederhana, umum dan tidak jelas, sehingga menimbulkan multi tafsir, (c)
unsur-unsur yang seharusnya ada dalam konstitusi tidak dielaborasi secara
memadai, (d) UUD 1945 dianggap terlalu menekankan semangat para penyelenggara, (e)
UUD 1945 terlalu besar memberi kewenangan kepada presiden untuk mengatur
berbagai hal penting dengan undang undang, (f) banyak materi muatan yang
penting diatur pada Penjelasan UUD, sementara Penjelasan itu sendiri masih
diragukan keberadaannya,karena pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI hanya
mengesahkan Pembukaan dan Batang Tubuh.
Dalam
hal ini agar memperoleh aturan dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan
kedaulatan rakyat dan memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan
perkembangan paham demokrasi maka perlu diadakan amandemen UUD 1945.
Selanjutnya sebagai konsekuensi logis dengan adanya Tap MPR No. IV/MPR/1983
yang isinya kehendak untuk tidak akan melakukan perubahan UUD 1945 perlu
dicabut terlebih dahulu. Untuk melakukan pencabutan Tap MPR No. IV/MPR/1983
perlu dikeluarkan ketetapan MPR No. VIII/MPR/1998.
Tentang
tata cara perubahan undang-undang dasar telah diatur dalam pasal 37 ayat (1)
yang berbunyi “untuk mengubah undang-undang dasar sekurang-kurangnya 2/3
daripada jumlah anggota Majelis Permusayawaratan Rakyat harus hadir”, sedangkan
ayat 2 pasal yang sama menyebutkan putusan diambil dengan persetujuan
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.
Adapun
pelaksanaan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 secara sistematis melalui tahapan
sidang umum dan sidang tahunan sampai empat kali perubahan konstitusi pada
empat sidang MPR sebagai berikut ini.
1.
Perubahan
pertama Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan pada Sidang Umum MPR tahun 1999 (tanggal 14 sampai dengan
21 Oktober 1999).
2.
Perubahan
kedua Undang Undang Dasar 1945 dilakukan pada sidang tahunan MPR tahun 2000
(tanggal 7 sampai dengan 18 Agustus 2000)
3.
Perubahan
ketiga Undang Undang Dasar 1945 dilakukan pada sidang tahunan MPR tahun 2001
(tanggal 1 sampai dengan 9 November 2001)
4.
Perubahan
keempat Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan pada sidang tahunan MPR tahjun 2002
(tanggal 1 sampai dengan 11 Agustus 2002)
Berkaitan
dengan perubahan UUD 1945 tersebut kesepakatan dasar yang dicapai oleh
fraksi-fraksi MPR adalah sebagai berikut:
1.
tidak
mengubah pembukaan UUD 1945;
2.
tetap
mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3.
tetap
mempertahankan sistem pemerintahan presidensiil;
4.
penjelasan
UUD 1945 yang memuat hal-hal yang normatif dimasukkan ke dalam pasal-pasal UUD
1945;
5.
perubahan
dilakukan dengan cara “adendum”; dan pasal-pasal dalam batang tubuh menjadi :
21 bab, 73 pasal, 170 ayat, 3 pasal aturan peralihan, dan 2 pasal aturan
tambahan.
Berdasarkan
hasil kesepakatan dasar tersebut di atas Pembukaan UUD 1945 tidak diadakan
perubahan karena Pembukaan UUD 1945 bagi bangsa Indonesia merupakan sumber
motivasi dan aspirasi, tekad dan semangat serta cita-cita moral dan cita-cita
hukum yang ingin ditegakkan dalam lingkungan nasional dan internasional. Selain
itu, dalam setiap alinea Pembukaan UUD 1945 memiliki makna yang sangat
mendasar.
1.
Alinea pertama.
a.
Keteguhan
bangsa Indonesia dalam membela kemerdekaan untuk melawan penjajah dalam segala
bentuk.
b.
Pernyataan
subyektif bangsa Indonesi untuk menentang dan menghapus penjajahan di atas
dunia.
c.
Pernyataan
obyektif bangsa Indonesia bahwa penjajahan tidak sesuai dengan peri kemanusiaan
dan peri keadilan.
d.
Pemerintahan
Indonesia mendukung kemerdekaan bagi setiap bangsa untuk berdiri sendiri.
2.
Alinea kedua.
a.
Kemerdekaan
yang dicapai oleh bangsa Indonesia adalah melalui perjuangan pergerakan dalam
melawan penjajah.
b.
Adanya
momentum yang harus dimanfaatkan untuk menyatakan kemerdekaan.
c.
Bahwa
kemerdekaan bukanlah akhir perjuangan, tetapi harus diisi dengan mewujudkan
negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
3.
Alinea ketiga.
a.
Motivasi
spiritual yang luhur bahwa kemerdekaan kita adalah berkat rahmat Allah Yang
Maha Kuasa.
b.
Keinginan
yang didambakan oleh segenap bangsa Indonesia terhadap suatu kehidupan yang
berkesinambungan antara kehidupan material dan spiritual dan kehidupan di dunia
maupun di akhirat.
c.
Pengukuhan
pernyataan proklamasi Indonesia
4.
Alinea keempat.
a.
Adanya fungsi dan sekaligus tujuan negara Indonesia.
b.
Kemerdekaan kebangsaaan Indonesia yang disusun dalam suatu Undang Undang Dasar.
c.
Susunan/bentuk Negara Republik Indonesia.
d.
Sistem pemerintahan negara, yaitu berdasarkan kedaulatan rakyat (demokrasi).
e.
Dasar negara Pancasila.
Pembukaan
UUD 1945, selain mempunyai makna yang sangat mendalam juga mengandung
pokok-pokok pikiran yang meliputi suasana kebatinan dari UUD 1945. Pokok-pokok
pikiran tersebut mewujudkan cita-cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang
tertulis (UUD) maupun hukum tidak tertulis. Pokok-pokok pikiran yang terkandung
dalam pembukaan
UUD
1945 adalah sebagai berikut ini.
1.
Pokok
Pikiran Pertama : Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2.
Pokok
Pikiran Kedua : Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
3.
Pokok
Pikiran Ketiga : Negara yang berkedaulatan rakyat berdasar atas kerakyatan dan
permusyawaratan/perwakilan.
4.
Pokok
Pikiran Keempat : Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab.
Makna
yang terkandung dalam amandemen UUD 1945 dapat dinyatakan sebagai berikut ini :
1.
Perubahan
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang dilakukan oleh
MPR, selain merupakan perwujudan tuntutan reformasi, juga sejalan dengan pidato
Ir. Soekarno, ketua panitia penyusun Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
tanggal 18 Agustus 1945. Pada kesempatan itu ia menyampaikan antara lain,
“Bahwa ini adalah sekedar Undang Undang Dasar Sementara, Undang Undang Dasar
Kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutiegrondwet. Nanti
kita membuat Undang Undang Dasar yang lebih sempurna dan lengkap.
2.
Perubahan
Undang Undang Negara Republik Indonesia tahun
1945 yang dilakukan MPR merupakan upaya penyempurnaan aturan dasar guna
lebih memantapkan usaha pencapaian cita-cita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus
1945 sebagaimana tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945.
3.
Selain
itu, perubahan Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia tahun 1945
memenuhi sila keempat Pancasila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan”, yang penerapannya berlangsung di dalam
sistem perwakilan atau permusyawaratan. Orang-orang yang duduk di dalam
merupakan hasil pemilihan umum hal itu selaras dengan perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengenai pemilhan presiden dan wakil
presiden serta anggota lembaga perwakilan yang dipilih oleh rakyat secara
langsung.
0 Response to "Konstitusi / UUD Yang Pernah Berlaku di Indonesia Lengkap"
Posting Komentar