Dewasa
ini kasus-kasus korupsi yang terjadi di negara Indonesia semakin menarik untuk
dibicarakan. Korupsi bukan hanya terjadi di lingkungan pejabat eksekutif,
tetapi terjadi juga di lembaga legislatif dan yudikatif.
Korupsi
merupakan penyakit masyarakat yang sangat membahayakan karena dapat mengancam
kelancaran pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Di
tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk
memberantas korupsi dan bentuk penyimbangan lainnya semakin meningkat. Upaya
pencegahan dan pemberantasan korupsi harus terus ditingkatkan dengan tetap
menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat.
Agar
dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau
perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit, maka tindak pidana yang
diatur dalam undang-undang ini dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi
perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi secara
“melawan hukum” dari pengertian formil dan materil.
Dengan
perumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat
pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menutut perasaan keadilan
masyarakat harus dituntut pidana. Tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas
sebagai tindak pidana formil. Dengan rumusan secara formil yang dianut dalam
undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, maka meskipun
hasil korupsi telah dikembalikan kepada Negara, pelaku tindak pidana korupsi
tetap diajukan ke pengadilan dan tetap di pidana.
Undang-undang
Tindak Pidana Korupsi menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas
atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh
harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang
atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan,
dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.
Selain
itu undang-undang tindak pidana korupsi juga memberi kesempatan yang
seluas-luasnya kepada masyarakat berperan serta untuk membantu upaya pencegahan
dam pemberantasan korupsi, dan terhadap anggota masyarakat yang berperan serta
tersebut diberikan perlindungan hukum penghargaan.
Pengertian
korupsi menurut pasal 2 (1) Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak
Pidana Korupsi adalah:Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama
20 (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Selain
itu dalam Pasal 3 dinyatakan, bahwa setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan atau denda
paling sedikit 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Dalam
skala nasional tindakan-tindakan yang dilakukan oleh berbagai profesi dapat
dikatagorikan korupsi, seperti:
1. Menyuap hakim
adalah korupsi.
Mengacu
kepada kedua pengertian korupsi di atas, maka suatu perbuatan dikatagorikan
korupsi apabila terdapat beberapa syarat, misalnya dalam pasal 6 ayat (1) huruf
a UU no. 20 tahun 2001. Maka untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk
korupsi harus memenuhi unsur-unsur :
a.
Setiap
orang,
b.
Memberi
atau menjanjikan sesuatu,
c.
Kepada
hakim,
d.
Dengan
maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk
diadili.
2. Pegawai Negeri
menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatan adalah korupsi.
Pasal
11 UU no. 20 tahun 2001 menyatakan, bahwa Untuk menyimpulkan apakah seorang
Pegawai Negeri melakukan suatu perbuatan korupsi memenuhi unsur-unsur :
a.
Pegawai
Negeri atau penyelenggara Negara,
b.
Menerima
hadiah atau janji,
c.
Diketahuinya,
d.
Patut
diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau
kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya dan menurut pikiran orang yang
memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
3. Menyuap advokat
adalah korupsi.
Mengacu
kepada kedua pengertian korupsi di atas, maka suatu perbuatan dikatagorikan
korupsi apabila terdapat beberapa syarat, misalnya dalam pa-sal 6 ayat (1)
huruf a UU no. 20 tahun 2001 yang berasal dari pasal 210 ayat (1) KUHP yang
dirujuk dalam pasal 1 ayat (1) huruf e UU no. 3 tahun 1971, dan pasal 6 UU
no.31 tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi yang kemudian dirumuskan ulang
pada UU no. 20 tahun 2001, maka untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan
termasuk korupsi harus memenuhi unsur-unsur :
a.
Setiap
orang,
b.
Memberi
atau menjanjikan sesuatu,
c.
Kepada
advokat yang menghadiri sidang pengadilan,
d.
Dengan
maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung
dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
0 Response to "Macam-Macam Jenis Kasus Korupsi dan Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia"
Posting Komentar