Marilah
kita mencoba menganalisis tabel tersebut menggunakan pandangan para pemikir
tentang hubungan negara dan warga negara yang digolongkan menjadi tiga yaitu
Pluralis, Marxis, dan Sintesis dari keduanya. Negara dan warga negara
sebenarnya merupakan satu keping mata uang bersisi dua.
Negara
tidak mungkin ada tanpa warga negara, demikian pula tidak ada warga negara
tanpa negara. Namun, persoalannya tidak sekedar masalah ontologis keberadaan
keduanya, namun hubungan yang lebih relasional, misalnya apakah negara yang
melayani warga negara atau sebaliknya warga negara yang melayani negara.
Hal
ini terlihat ketika pejabat akan mengunjungi suatu daerah, maka warga sibuk
menyiapkan berbagai macam untuk melayaninya. Pertanyaan lain, apakah negara
mengontrol warga negara atau warga negara mengontrol negara?
1. Pluralis
Kaum
pluralis berpandangan bahwa negara itu bagaikan sebuah arena tempat berbagai
golongan dalam masyarakat berlaga. Masyarakat berfungsi memberi arah pada
kebijakan yang diambil negara. Pandangan pluralis persis sebagaimana dikatakan
Hobbes dan John Locke bahwa masyarakat itu mendahului negara. Mayarakat yang
menciptakan negara dan bukan sebaliknya, sehingga secara normatif negara harus
tunduk kepada masyarakat (Wibowo, 2000: 11-12).
2. Marxis
Teori
Marxis berpendapat bahwa negara adalah serangkaian institusi yang dipakai kaum
borjuis untuk menjalankan kekuasaannya. Dari pandangan ini, sangat jelas
perbedaannya dengan teori pluralis. Kalau teori pluralis melihat dominasi
kekuasan pada warga negara, sedangkan teori Marxis pada negara. Seorang tokoh
Marxis dari Italia, Antonio Gramsci, yang memperkenalkan istilah ‘hegemoni’
untuk menjelaskan bagaimana negara menjalankan penindasan tetapi tanpa
menyebabkan perasaan tertindas, bahkan negara dapat melakukan kontrol kepada
masyarakat (Wibowo, 2000: 15).
3. Sintesis
Pandangan
yang menyatukan dua pandangan tersebut adalah teori strukturasi yang dikemukakan
oleh Anthony Giddens. Ia melihat ada kata kunci untuk dua teori di atas yaitu
struktur untuk teori Marxis dan agensi untuk Pluralis. Giddens berhasil
mempertemukan dua kata kunci tersebut.
Ia
berpandangan bahwa antara struktur dan agensi harus dipandang sebagai dualitas
(duality) yang selalu berdialektik, saling mempengaruhi dan berlangsung terus
menerus. (Wibowo, 2000: 21).
Untuk
menyederhanakan pandangan Giddens ini saya mencoba mengganti istilah struktur
sebagai negara dan agensi sebagai warga negara. Negara mempengaruhi warga
negara dalam dua arti, yaitu memampukan (enabling) dan menghambat
(constraining). Bahasa digunakan oleh Giddens sebagai contoh. Bahasa harus
dipelajari dengan susah payah dari aspek kosakata maupun gramatikanya. Keduanya
merupakan rules yang benar-benar menghambat.
Tetapi
dengan menguasai bahasa ia dapat berkomunikasi kepada lawan bicara tanpa batas
apapun. Contoh yang lebih konkrit adalah ketika kita mengurus KTP. Harus
menyediakan waktu khusus untuk menemui negara (RT, RW, Dukuh, Lurah dan Camat)
ini sangat menghambat, namun setelah mendapatkan KTP kita dapat melamar
pekerjaan, memiliki SIM bahkan Paspor untuk pergi ke luar negeri (Wibowo, 2000,
21-22)
Namun
sebaliknya, agensi (warga negara) juga dapat mempengaruhi struktur, misalnya
melalui demonstrasi, boikot, atau mengabaikan aturan. Istilah yang digunakan
Giddens adalah dialectic control. Oleh karena itu dalam teori strukturasi yang
menjadi pusat perhatian bukan struktur, bukan pula agensi, melainkan social
practice (Wibowo, 2000: 22).
Tiga
teori ini kalau digunakan untuk melihat hubungan negara dan warga negara dalam
konteks hak dan kewajiban sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945, maka lebih
dekat dengan teori strukturasi. Meskipun dalam UUD 1945 tidak secara eksplisit
menyebutkan hak negara, namun secara implisit terdapat dalam pasal-pasal
tentang kewajiban warga negara. Negara memiliki hak untuk ditaati peraturannya
dan hal itu terlihat dalam social practice-nya. Negara dan warga negara
masing-masing memiliki hak dan kewajiban sesuai porsinya. Negara memiliki
kewenangan untuk mengatur warga negaranya, namun warga negara juga memiliki
fungsi kontrol terhadap negara.
Contoh
yang bisa menggambarkan situasi tersebut adalah kebijakan pemerintah untuk
menaikkan Bahan Bakar Minyak (BBM). Beberapa kali pemerintah menaikkan BBM
karena alasan pertimbangan menyelamatkan APBN, namun pada kesempatan lain atas
desakan kuat dari masyarakat akhirnya kenaikan BBM dibatalkan.
0 Response to "Hubungan Negara dan Warga Negara Berdasarkan Pluralis, Marxis, dan Sintesis"
Posting Komentar