Edukasippkn.com - Dalam Pasal 11 ayat (1) UUD RI
Tahun 1945 disebutkan bahwa presiden dengan persetujuan DPR membuat perjanjian
dengan negara lain.
Dalam hal bahwa suatu perjanjian menimbulkan akibat
yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undangundang, maka
pembuatan perjanjian internasional tersebut harus dengan persetujuan DPR.
Ketentuan lebih lanjut tentang pembuatan perjanjian
internasional diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 2000.
Efektivitas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 dalam
Menghapus Diskriminasi bagi Warga Keturunan Tionghoa Undang-Undang Nomor 62
Tahun 1958 dianggap telah gagal memberikan perlindungan terhadap warga
keturunan Tionghoa sebagai warga negara Indonesia dari perlakukan diskriminasi.
Secara historis, diskriminasi warga keturunan Tionghoa berawal dari adanya penggolongan
penduduk warisan Kolonial Belanda.
Pembedaan bagi golongan penduduk Indonesia pada saat
Hindia Belanda didasarkan pada Indische Staatsregeling 1927 Pasal 163, dibagi
menjadi 3 (tiga golongan), yaitu:
1. Golongan Eropa, terdiri dari:
a. Bangsa Belanda;
b. Bukan bangsa Belanda tetapi orang Eropa; dan
c. Orang bangsa lain yang hukum keluarganya sama dengan golongan Eropa.
2. Golongan Timur Asing, terdiri dari:
a. Golongan Tionghoa; dan
b. Golongan Timur Asing bukan Cina.
3. Golongan Bumiputera atau Pribumi, terdiri dari:
a. Orang Indonesia asli dan keturunannya; dan
b. Orang lain yang menyesuaikan diri dengan yang pertama.
Diskriminasi tersebut masih dirasakan hingga saat
ini. Selain itu, bagi warga keturunan Tionghoa juga disyaratkan untuk
menyertakan SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) untuk
mengurus paspor atau dokumen sipil lainnya. Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia atau biasa
disingkat SBKRI adalah kartu identitas yang menyatakan bahwa pemiliknya adalah
warganegara Republik Indonesia.
Walaupun demikian, SBKRI hanya diberikan kepada
warganegara Indonesia keturunan, terutama keturunan Tionghoa. Kepemilikan SBKRI
adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk mengurus berbagai
keperluan, seperti kartu tanda penduduk (KTP), memasuki dunia pendidikan,
permohonan paspor, pendaftaran Pemilihan Umum, menikah, meninggal dunia dan
lain-lain. SBKRI ini telah melanggar hak seseorang untuk mendapatkan pengakuan
yang sama sebagai warga negara Indonesia.
Pada saat ini telah diberlakukan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang menggantikan
posisi Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958. Undang-Undang Kewarganegaraan ini
mengelompokkan warga negara dalam dua kelompok yaitu (1) Warga Negara Indonesia
asli yaitu orang Indonesia yang
menjadi Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya
dan tidak pernah menerima kewarganegaran lain atas kehendak sendiri, dan (2)
orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai Warga Negara
Indonesia melalui proses pewarganegaraan. Jadi, hanya ada dua jenis
penggolongan kewarganegaraan di Indonesia yaitu Warga Negara Indonesia dan
Warga Negara Asing.
Lebih tegas dalam Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006 disebutkan dimaksud dengan “bangsa Indonesia asli” adalah
orang Indonesia yang menjadi Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan
tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri, sehingga
dalam undang-undang ini, warga keturunan Tionghoa yang lahir di Indonesia
termasuk orang Indonesia asli yang mempunyai hak dan kewajiban sama seperti
warga negara lainnya.
Istilah kewarganegaraan (citizenship) mempunyai arti
keanggotaan yang menunjukkan hubungan antara negara dengan warga negara.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 memberikan definisi kewarganegaraan sebagai
segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga negara.
Pengertian kewarganegaraan dapat dibedakan menjadi 4
(empat), yaitu kewarganegaraan dalam arti yuridis, sosiologis, formil, dan
materiil. Kewarganegaraan dalam arti yuridis ditandai dengan adanya ikatan
hukum antara negara dengan warga negara yang menimbulkan akibat hukum tertentu.
Tanda dari ikatan hukum tersebut antara lain: akta kelahiran, surat pernyataan,
bukti kewarganegaraan, dan lainnya.
Kewarganegaraan dalam arti sosiologis lahir dari
penghayatan warga negara yang bersangkutan yang ditandai dengan ikatan
perasaan, ikatan nasib, ikatan sejarah, ikatan keturunan, ikatan tanah air.
Kewarganegaraan dalam arti formil menunjuk pada tempat kewarganegaraan, yaitu
pada ranah hukum publik.
Kewarganegaraan dalam arti materiil menunjuk pada
akibat hukum dari status kewarganegaraan, yaitu adanya hak dan kewajiban warga
negara. Melalui pengertian ini, maka warga keturunan Tionghoa yang berada di
Indonesia sejak lahir dan bertahun-tahun lamanya bertempat tinggal di Indonesia
secara turun temurun adalah warga negara Indonesia secara sosiologis. Mengikuti
perkembangan dan tuntutan kebutuhan pada saat ini, keberadaan kewarganegaraan
hanya secara sosiologis sudah tidak dimungkinkan lagi.
Hubungan antar warga negara dan hubungan antar warga
negara dengan negara perlu diatur secara yuridis untuk memberikan perlindungan
bagi warga negara. Hal ini sesuai dengan asas khusus penyusunan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006, yaitu asas perlindungan maksimum.
0 Response to "Bermacam-macam Jenis Pembedaan Golongan Penduduk Indonesia"
Posting Komentar