Edukasippkn.com - Berdasarkan atas asas ekterritoriality (seorang duta besar
atau diplomat harus dianggap berada di luar wilayah negara tempat ia
ditempatkan), maka akibatnya para diplomat beserta para pegawainya mempunyai
hak istimewa.
Dengan kata lain, hak istimewa ini disebut hak
ekterritoriality, yaitu mereka tidak tunduk kepada kekuasan peradilan sipil dan
peradilan perdana tempat mereka ditempatkan.
Berdasarkan Konvensi Wina 1961, maksud pemberian
kekebalan dan keistimewaan diplomatik itu bukanlah hanya untuk kepentingan
individu semata, melainkan untuk menjamin pelaksanaan tugas negara yang
diwakili. Selain itu, kekebalan dan keistimewaan diplomatik juga diberikan
untuk menjamin pelaksanaan fungsi perwakilan diplomatik secara efisien.
Mengenai ketentuan pengklasifikasian kekebalan dan
keistimewaan diplomatik di Indonesia, telah diatur dalam buku Pedoman Tertib
Diplomatik dan Protokoler, yang diterbitkan oleh Departemen Luar Negeri. Dalam
buku tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud kekebalan dan keistimewaan
diplomatik mencakup dua pengertian. Kedua pengertian tersebut diuraikan sebagai
berikut:
a.
Inviolability (tidak dapat diganggu
gugat)
Inviolability (tidak dapat diganggu gugat) adalah
kekebalan terhadap alat-alat kekuasaan dari negara penerima dan kekebalan dari
segala gangguan yang merugikan para pejabat diplomatik. Dengan demikian
terkandung makna bahwa pejabat diplomatik yang bersangkutan memiliki hak untuk
mendapat perlindungan dari alat-alat perkengkapan negara penerima. Pengartian
dalam pedoman tertib diplomatik dan protokoler, inviolability merupakan
terjemahan dari “inviolabel”, yang terdapat dalam Konvensi Wina 1961, yang menyatakan
bahwa pejabat diplomatik adalah inviolabel, artinya ia tidak dapat ditangkap
maupun ditahan oleh alat negara, atau alat perlengkapan negara penerima. Dan
sebaliknya, negara penerima berkewajiban untuk mengambil langkah-langkah demi
mencegah serangan atas kehormatan dan kekebalan dari pejabat diplomatik yang
bersangkutan.
b.
Immunity (kekebalan)
Immunity (kekebalan) adalah pejabat diplomatik kebal
terhadap yuridiksi dari hukum negara penerima, baik hukum pidana, perdata,
maupun hukum administrasi.
Sedangkan pengertian immunity dalam pedoman tertib
diplomatik yang terdapat pada Konvensi Wina 1968, yaitu pejabat diplomatik akan
menikmati kekebalan dari yurikdisi kriminal, sipil, serta administrasi dari
negara penerima. Kekebalan yang terdapat dalam buku tertib diplomatik dan
tertib protokoler diperinci menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut:
1)
Kekebalan pribadi
Kekebalan pribadi (imunitas perorangan) dapat
diperinci lagi sebagai berikut:
a) Berhak atas perlindungan istimewa atas pribadi dan atas harta bendanya.
b) Bebas dari alat-alat paksaan, baik soal perdata maupun soal pidana.
c) Bebas dari kewajiban menjadi saksi.
d) Bebas dari semua pajak langsung, kecuali pajak tanah, retribusi, dan bea
materai.
2)
Kekebalan kantor perwakilan dan rumah kediaman
Kantor perwakilan diplomatik dan rumah kediamannya
tidak boleh dimasuki tanpa izin oleh negara penerima, kecuali dalam keadaan
darurat, misalnya ada kebakaran, banjir, dan sebagainya. Bendera asing bebas berkibar
di atas gedung kedutaan dengan tidak perlu didampingi bendera negara penerima
di sebelah kanannya. Kekebalan kantor perwakilan dan rumah kediaman (immunitas
tempat tinggal) menimbulkan hak asy atau hak suaka politik. Hak suaka politik
adalah hak untuk mencari dan mendapatkan perlindungan dari suatu keduatan asing
oleh seorang delliguent politik maupun kriminal.
3)
Kekebalan terhadap koresponden (immunitas surat menyurat)
Kekebalan ini memungkinkan surat menyurat tidak
boleh disensor. Ini tidak berarti bahwa duta dan pengikutnya tersebut dapat
berbuat sewenang-wenang. Mereka diharuskan menaati peraturan perundang-undangan
yang berlaku di negara itu. Pelanggaran dapat menyebabkan pemerintah mengajukan
protes kepada kementerian luar negeri negara pengirim. Jika perlu dengan
permintaan kembali atau dipersonanongratakan.
0 Response to "Hak Istimewa dan Kekebalan Diplomatik"
Posting Komentar