Feminisme (tokohnya disebut feminis) adalah sebuah
gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak
dengan pria. Feminisme sebagai filsafat dan gerakan dapat dilacak dalam sejarah
kelahirannya dengan kelahiran Era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady
Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet.
Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama
kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785.
Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan
yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa.
Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut
sebagai universal sisterhood. Kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh
aktivis sosialis utopis, Charles Fourier, pada tahun 1837.
Pergerakan center Eropa ini berpindah ke Amerika dan
berkembang 122 Pendidikan Kewarganegaraan XI pesat sejak publikasi John Stuart
Mill, The Subjection of Women (1869).
Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme
gelombang pertama. Pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, di
mana ada masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah dunia
menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminim) merasa dirugikan dalam
semua bidang dan dinomorduakan oleh kaum laki-laki (maskulin), khususnya dalam
masyarakat yang patriarki sifatnya.
Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan,
dan lebih-lebih politik, hak-hak kaum ini biasanya memang lebih inferior ketimbang
apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki.
Apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi
agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki di depan (di luar rumah) dan kaum
perempuan di rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era
Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad XVIII yang
gemanya kemudian melanda Amerika Serikat dan seluruh dunia.
Suasana demikian diperparah dengan adanya fundamentalisme agama yang cenderung melakukan
opresi terhadap kaum perempuan. Di lingkungan agama Kristen pun ada praktik-praktik
dan khotbah-khotbah yang menunjang situasi demikian. Hal ini terlihat dalam fakta
bahwa banyak gereja menolak adanya pendeta perempuan bahkan tua-tua jemaat
pun hanya dapat dijabat oleh pria. Banyak khotbah-khotbah
mimbar menempatkan perempuan sebagai mahluk yang harus ´tunduk kepada suami´.
Dari latar belakang demikianlah di Eropa berkembang
gerakan untuk ´menaikkan derajat kaum perempuan´ tetapi gaungnya kurang keras.
Barulah setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan politik,
perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat. Di tahun 1792, Mary
Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul Vindication
of the Right of Woman yang isinya dapat dikatakan meletakkan dasar
prinsip-prinsip feminisme di kemudian hari.
Pada tahun 1830-1840, sejalan terhadap pemberantasan
praktik perbudakan, hak-hak kaum perempuan mulai diperhatikan. Contohnya, jam
kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka diberi kesempatan ikut
dalam pendidikan dan diberi
hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati
oleh kaum laki-laki.
Secara umum pada gelombang pertama dan kedua hal-hal
berikut ini yang menjadi momentum perjuangannya: gender inequality, hak-hak
perempuan, hak reproduksi, hak berpolitik, peran gender, identitas gender dan
seksualitas. Gerakan feminisme adalah gerakan pembebasan perempuan dari:
rasisme, stereotyping, seksisme, penindasan perempuan, dan phalogosentrisme. Setelah
berakhirnya perang dunia kedua, ditandai dengan lahirnya negara-negara baru
yang terbebas dari penjajah Eropa, lahirlah feminisme gelombang kedua pada
tahun 1960. Puncaknya adalah dengan diikutsertakannya perempuan dalam hak suara
parlemen.
Pada tahun ini merupakan awal bagi perempuan
mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut mendiami ranah politik kenegaraan. Dalam
gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis, seperti Helene Cixous
(seorang Yahudi kelahiran Aljazair yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia
Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis), bersamaan dengan
kelahiran dekonstruksionis, Derrida. Dalam The Laugh of the Medusa, Cixous
mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin.
Sebagai bukan white-Anglo-American-Feminist, dia menolak esensialisme yang sedang
marak di Amerika pada waktu itu.
Julia Kristeva memiliki pengaruh kuat dalam wacana
pos-strukturalis yang sangat dipengaruhi oleh Foucault dan Derrida. Secara
lebih spesifik, banyak feminis-individualis kulit putih, meskipun tidak semua, mengarahkan
obyek penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga, meliputi Afrika,
Asia, dan Amerika Selatan. Dalam berbagai penelitian tersebut, telah terjadi
pretensi universalisme perempuan sebelum memasuki konteks relasi sosial, agama,
ras, dan budaya.
Misalnya saja, Spivak membongkar tiga teks karya
sastra Barat yang identik dengan tidak adanya kesadaran sejarah kolonialisme.
Sedangkan Mohanty membongkar beberapa peneliti feminis barat yang menjebak
perempuan sebagai objek. Adapun Bell Hooks mengkritik teori feminisme Amerika
sebagai sekedar kebangkitan anglo-white-americanfeminism karena tidak mampu
mengakomodir kehadiran black-female dalam kelahirannya.
Banyak kasus menempatkan perempuan dunia ketiga
dalam konteks “all women”, dengan apropriasi bahwa semua perempuan adalah sama.
Dalam beberapa karya sastra, novelis perempuan kulit putih yang ikut dalam
perjuangan feminisme masih terdapat lubang hitam, yaitu tidak adanya
representasi perempuan budak dari tanah jajahan sebagai subjek. Penggambaran
pejuang feminisme adalah yang masih mempertahankan posisi budak sebagai yang
mengasuh bayi dan budak pembantu di rumah-rumah kulit putih.
Perempuan dunia ketiga tenggelam sebagai subaltern
yang tidak memiliki politik agensi selama sebelum dan sesudah perang dunia kedua.
Selama sebelum PD II, banyak pejuang tanah terjajah Eropa yang lebih
mementingkan kemerdekaan bagi laki-laki saja. Terbukti kebangkitan semua negara
terjajah dipimpin oleh elit nasionalis dari kalangan pendidikan, politik, dan
militer, yang kesemuanya adalah laki-laki. Pada era itu kelahiran feminisme gelombang
kedua mengalami puncaknya. Sebaliknya, perempuan dunia ketiga masih dalam kelompok
yang bisu.
Dengan keberhasilan gelombang kedua ini, perempuan
dunia pertama melihat bahwa mereka perlu menyelamatkan perempuan-perempuan
dunia ketiga, dengan asumsi bahwa semua perempuan adalah sama. Dengan asumsi
ini, perempuan dunia ketiga menjadi objek analisis yang dipisah dari sejarah
kolonialisasi, rasisme, seksisme, dan relasi sosial.
0 Response to "Feminisme / Gerakan Perempuan Yang Menuntut Emansipasi Atau Kesamaan dan Keadilan Hak Dengan Pria"
Posting Komentar