Dengan
kondisi masyarakat Indonesia yang diwarnai oleh berbagai keanekaragaman, harus
disadari bahwa masyarakat Indonesia menyimpan potensi konflik yang cukup besar,
baik konflik yang bersifat vertikal maupun bersifat horizontal.
Konflik
vertikal di sini dimaksudkan sebagai konflik antara pemerintah dengan rakyat,
termasuk di dalamnya adalah konflik antara pemerintah daerah dengan pemerintah
pusat. Sedangkan konflik horizontal adalah konflik antarwarga masyarakat atau
antarkelompok yang terdapat dalam masyarakat.
Dalam
dimensi vertikal, sepanjang sejarah sejak proklamasi Indonesia hampir tidak
pernah lepas dari gejolak kedaerahan berupa tuntutan untuk memisahkan diri.
Kasus Aceh, Papua, Ambon merupakan konflik yang bersifat vertikal yang
bertujuan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kasus-kasus tersebut merupakan perwujudan konflik antara masyarakat daerah
dengan otoritas kekuasaan yang ada di pusat. Konflik tersebut merupakan ekspresi
ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah pusat yang diberlakukan di daerah.
Di
samping itu juga adanya kepentingan-kepentingan tertentu dari masyarakat yang
ada di daerah. Kebijakan pemerintah pusat sering dianggap memunculkan
kesenjangan antardaerah, sehingga ada daerah-daerah tertentu yang sangat maju
pembangunannya, sementara ada daerah-daerah yang masih terbelakang. Dalam
hubungan ini, isu dikhotomi Jawa-luar Jawa sangat menonjol, di mana Jawa
dianggap merepresentasikan pusat kekuasaan yang kondisinya sangat maju,
sementara banya daerah-daerah di luar Jawa yang merasa menyumbangkan pendapatan
yang besar pada negara, kondisinya masih terbelakang.
Menurut
Stedman (1991:373), penyebab konflik kedaerahan adalah:
1)
Krisis
pemerintahan nasional, baik karena persoalan suksesi maupun jatuh bangunnya
pemerintahan karena lemahnya konstitusi.
2)
Kegagalan
lembaga-lembaga negara menengahi konflik, baik yang melibatkan unsur-unsurr
masyarakat maupun lembaga-lembaga negara.
3)
Pembatasan
partisipasi politik warga negara di daerah-daerah.
4)
Ketidakadilan
distribusi sumber daya ekonomi nasional dan sulitnya akses masyarakat di daerah
terhadap sumber daya tersebut.
5)
Rezim
yang tidak responsif terhadap tuntutan warga negara dan tidak bertanggungjawab
terhadap rakyatnya.
Dengan
mengacu pada faktor-faktor terjadinya konflik kedaerahan sebagaimana disebutkan
di atas, konflik kedaerahan di Indonesia agaknya terkait secara akumulatif
dengan berbagai faktor tersebut.
Di
samping konflik vertikal tersebut, konflik horizontal juga sering muncul, baik
konflik yang berlatarbelakang keagamaan, kesukuan, antarkelompok atau golongan
dan semacamnya yang muncul dalam bentuk kerusuhan, perang antarsuku, pembakaran
rumah-rumah ibadah, dan sebagainya. Dalam hal ini dapat kita sebutkan kasus-kasus
yang terjadi di Poso, Sampit, Ambon, kasus di Lombok, dan masih ada
tempat-tempat yang lain. Terjadinya konflik horizontal biasanya juga merupakan
akumulasi dari berbagai faktor baik faktor kesukuan atau etnis, agama, ekonomi,
sosial, dan sebagainya. Apa yang tampak sebagai kerusuhan yang berlatarbelakang
agama bisa jadi lebih terkait dengan sentimen etnis atau kesukuan, begitu juga
dengan konflik yang tampak dengan latar belakang etnis atau keagamaan
sebenarnya hanya merupakan perwujudan dari kecemburuan sosial.
Berkenaan
dengan konflik horizontal, khususnya konflik etnis terdapat pandangan
konstruktivis yang menyatakan bahwa konflik etnik merupakan konstruksi sosial,
yaitu hasil dari pengalaman historis serta diskursus etnisitas dengan identitas.
Pandangan ini merupakan sintesa dari pandangan primordialis dan pandangan
instrumentalis. Pandangan primordialis mengatakan bahwa konflik etnik dapat
dilacak akarnya pada sifat naluri alamiah saling memiliki, dan sifat kesukuan
(tribalism) berdasar pada perbedaan bahasa, ras, kekerabatan, tempramen, dan
tradisi suku-suku yang berkonflik. Sedangkan pandangan instrumentalis menolak
pendapat ini dengan menekankan sifat lentur dari identitas etnik yang biasa
digunakan, dimobilisasi, dan dimanipulasi oleh kelompok-kelompok elite dan
negara untuk tujuan politik tertentu.
Konflik
horizontal lainnya yang juga sering terjadi adalah konflik yang berlatar
belakan keagamaan. Konflik keagamaan sering terjadi dalam intensitas yang
sangat tinggi oleh karena agama merupakan sesuatu hal yang sifatnya sangat
sensitif. Ketersinggungan yang bernuansa keagamaan sering memunculkan
pertentangan yang meruncing yang disertai dengan tindak kekerasan di antara
kelompok penganut suatu agama dan kelompok penganut agama lainnya. Konflik
dengan intensitas yang demikian tinggi disebabkan karena masalah yang bernuansa
keagamaan sangat mudah membangkitkan solidaritas di kalangan sesama pemeluk
agama untuk melibatkan diri ke dalam konflik yang sedang berlangsung, dengan
suatu keyakinan bahwa perang ataupun konflik membela agama adalah perjuangan
yang suci.
Suatu
pendapat menyatakan bahwa terjadinya konflik keagamaan disebabkan oleh
eksklusivitas dari sementara pemimpin dan penganut agama; sikap tertutup dan
saling curiga antaragama; keterkaitan yang berlebihan dengan simbol-simbol
keagamaan; agama yang seharusnya merupakan tujuan hanya dijadikan sebagai alat;
serta faktor lain yang berupa kondisi sosial, politik dan ekonomi (Assegaf
dalam: Sumartana, 2001:34-37). Apa yang disebutkan paling akhir memberikan
pemahaman bahwa konflik berlatarbelakang keagamaan tidak lepas dari aspek-aspek
lain dalam kehidupan masyarakat. Tindak kekerasan antarumat beragama biasanya
terjadi apabila kepentingan-kepentingan tertentu memainkan peranan dalam percaturan
hubungan anatarumat beragama (Ismail,
1999:1).
Dengan demikian, apa yang dikatakan sebagai konflik agama ketika dicermati
ternyata bukan konflik yang berlatarbelakang keagamaan tetapi konflik lain yang
memanfaatkan simbol-simbol agama sebagai sarana membangkitkan solidaritas
kelompoknya.
Konflik
horizontal juga banyak terjadi dengan latar belakang perbedaan kepentingan,
baik kepentingan politik, ekonomi, maupun sosial. Kepentingan suatu kelompok
berbeda atau bahkan bertentangan satu sama lain, sehingga upaya suatu kelompok
untuk mencapai tujuan dirasakan mengganggu pencapaian tujuan kelompok lainnya.
konflik yang demikian biasanya tidak bersifat laten akan tetapi hanya merupakan
kejadian sesaat, dan ketika kepentingan itu bergeser, konflik pun akan selesai
dan bahkan berubah menjadi kerjasama. Konflik antarpendukung partai, calon
presiden, atau kepala desa misalnya merupakan beberapa contoh di antaranya.
Kecenderungan
terjadinya disintegrasi semakin besar ketika antara satu daerah dengan daerah
lain yang saling terpisah itu menunjukkan kondisi kemajuan sosial ekonomi yang
jauh berbeda satu sama lain. Dengan lain perkataan terjadi kesenjangan yang
tajam antar daerah. Kesenjangan antar
daerah akan memunculkan kecemburuan antara daerah satu dengan daerah lainnya,
di mana daerah yang kondisinya “terbelakang” merasa dianaktirikan oleh
pemerintah pusat. Oleh karena itu maka untuk menghindari terjadinya
disintegrasi, pemerintah perlu melaksanakan pembangunan yang merata di seluruh
daerah untuk mewujudkan kemajuan yang seimbang antara satu daerah dengan daerah
lainnya.
Hal
lain yang perlu menjadi perhatian adalah adanya daerah-daerah yang merasa
terpencil dan terisolasi dari daerah lainnya. Keadaan yang demikian disebabkan
oleh minimnya sarana transportasi dan sarana komunikasi. Oleh karena itu
keberadaan sarana transportasi dan sarana komuinikasi yang memadai merupakan
suatu hal yang sangat penting.
Ketika
satu daerah dengan daerah lain jaraknya berjauhan dihubungkan dengan sarana
transportasi dan sarana komunikasi yang memadai, maka jarak yang jauh itu akan
terkesan lebih dekat dan tidak ada daerah yang merasa terisolasi dari daerah
yang lain. Karena itu menanggapi kondisi wilayah geografis yang sangat luas dan
saling terpisah satu sama lain, pemerintah perlu membangun sarana transportasi
dan sarana komunikasi yang memadai. Dengan demikian mobilitas penduduk antar
daerah dapat terjadi dengan lancar, arus informasi dan komunikasi juga dapat
berjalan dengan baik sehingga tidak ada daerah yang merasa terpencil dan
terisolasi dari daerah lainnya. Tersedianya sarana transportasi dan komunikasi
antar daerah juga akan memicu perkembangan daerah-daerah yang bersangkutan, dan
pada gilirannya akan mengurangi kecenderungan disintegrasi.
Berbagai
keragaman masyarakat sebagaimana diuraikan di atas dan kondisi negara kepulauan
juga membentuk pola pemilahan sosial (Social
Cleavage) yang akan ikut berpengaruh pada upaya mewujudkan integrasi
nasional. Masalah pemilahan sosial menggambarkan pola pengelompokan masyarakat
terkait dengan berbagai aspek perbedaan yang ada di dalamnya. Pola pemilahan
sosial dapat dibedakan atas pemilahan sosial yang bersifat consolidated dan
pola pemilahan sosial yang bercorak intersected.
Pemilahan
sosial yang bercorak consolidated
merupakan pola pemilahan sosial di mana dua atau lebih kelompok masyarakat
sekaligus membawakan beberapa aspek perbedaan di antara mereka. Sedangkan
pemilahan sosial yang bercorak intersected merupakan pemilahan sosial di mana
beberapa aspek perbedaan jatuh pada pengelompokan masyarakat secara tidak
bersamaan melainkan saling berpotongan atau interseksi. Pemilahan sosial yang
lebih mendukung upaya mewujudkan integrasi nasional adalah pemilahan yang
bercorak intersected. Sedangkan dalam beberapa hal pemilahan masyarakat
Indonesia menampakkan pola consolidated,
suatu pola pemilahan yang sesungguhnya kurang mendukung upaya pembinaan
integrasi nasional.
0 Response to "Pengertian Konflik Vertikal dan Konflik Horizontal dalam Masyarakat Indonesia "
Posting Komentar