Setiap
bangsa memiliki identitasnya. Dengan memahami identitas bangsa diharapkan akan
memahami jati diri bangsa sehingga menumbuhkan kebanggaan sebagai bangsa. Dalam
pembahasan ini tentu tidak bisa mengabaikan pembahasan tentang keadaan masa
lalu dan masa sekarang, antara idealitas dan realitas dan antara das Sollen dan
das Seinnya.
Karakter
berasal dari bahasa latin “kharakter, kharassein
atau kharax”, dalam bahasa Prancis
“caractere” dalam bahasa Inggris “character. Dalam arti luas karakter berarti
sifat kejiwaan, akhlak, budi pekerti, tabiat, watak yang membedakan seseorang
dengan orang lain (Tim Nasional Dosen Pendidikan Kewarganegaraan, 2011: 67).
Sehingga karakter bangsa dapat diartikan tabiat atau watak khas bangsa
Indonesia yang membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lain.
Menurut
Max Weber (dikutip Darmaputra, 1988: 3) cara yang terbaik untuk memahami suatu
masyarakat adalah dengan memahami tingkah laku anggotanya. Dan cara memahami
tingkah laku anggota adalah dengan memahami kebudayaan mereka yaitu sistem
makna mereka. Manusia adalah makhluk yang selalu mencari makna terus menerus
atas semua tindakannya.
Makna
selalu menjadi orientasi tindakan manusia baik disadari atau tidak. Manusia
juga mencari dan berusaha menjelaskan ‘logika’ dari tingkah laku sosial
masyarakat tertentu melalui kebudayaan mereka sendiri.
Dalam
masyarakat berkembang atau masyarakat Dunia Ketiga, pada umumnya menghadsapi
tiga masalah pokok yaitu nation-building, stabilitas politik dan pembangunan
ekonomi. Nation-building adalah masalah yang berhubungan dengan warsian masa
lalu, bagaimana masyarakat yang beragam berusaha membangun kesatuan bersama.
Stabilitas politik merupakan masalah yang terkait dengan realitas saat ini
yaitu ancaman disintegrasi.
Sedangkan
masalah pembangaunan ekonomi adalah masalah yang terkait dengan masa depan
yaitu (dalam konteks Indonesia) masyarakat adil dan makmur (Darmaputra, 1988:
5).
Identitas
dan modernitas juga seringkali mengalami tarik menarik. Atas nama identitas
seringkali menutup diri dari perubahan, ada kekhawatiran identitas yang sudah
dibangun oleh para pendahulu tercerabut dan hilang. Sehingga identitas bukan
sesuatu yang hanya dipertahankan namun juga selalu berproses mengalami
perkembangan. Pembentukan identitas Indonesia juga mengalami hal demikian.
Indonesia yang memiliki beribu etnis harus menyatukan diri membentuk satu identitas
yaitu Indonesia, suatu proses yang sangat berat kalau tidak ada kelapangdadaan
bangsa ini untuk bersatu.
Bukan
hanya etnik yang beragam, Indonesia juga terdiri atas kerajaan-kerajaan yang
sudah establish memiliki wilayah dan rajanya masing-masing dan bersedia
dipersatukan dengan sistem pemerintahan baru yang modern yaitu demokrasi
presidensial. Dalam konteks ini Soekarno pernah mengatakan: “Saja berkata
dengan penuh hormat kepada kita punja radja-radja dahulu, saja berkata dengan
beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung Hanjokrosusumo, bahwa Mataram, meskipun
merdeka, bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi
di Padjajaran, saja berkata, bahwa keradjaannja bukan nationale staat, Dengan
perasaan hormat kepada Prabu Sultan Agung Tirtajasa, saja berkata, bahwa
keradjaannja di Banten, meskipun merdeka, bukan nationale staat. Dengan
perasaan hormat kepada Sultan Hasanoeddin di Sulawesi, jang telah membentuk
keradjaan Bugis, saja berkata, bahwa tanah Bugis jang merdeka itu bukan nationale
staat”. (Dewan Pertimbangan Agung di kutip Darmaputra, 1988: 5).
Negara
bangsa adalah negara yang lahir dari kumpulan bangsabangsa. Negara Indonesia
sulit terwujud apabila para raja bersikukuh dengan otoritas dirinya dan ingin
mendirikan negaranya sendiri. Keadaan demikian tentu mengindikasikan ada hal
yang sangat kuat yang mampu menyatukan beragam otoritas tersebut. Keadaan
geografis semata tentu tidak cukup mampu menyatukannya karena secara geografis
sulit membedakan kondisi wilayah geografis Indonesia dengan Malaysia, Pilipina,
Singapura dan Papua Nugini.
Akan
tetapi perasaan yang sama karena mengalami nasib yang sama kiranya menjadi
faktor yang sangat kuat. Selain daripada itu apabila menggunakan pendekatan
Weber sebagaimana tersebut di atas, maka kesatuan sistem makna juga menjadi
salah satu faktor pemersatu.
Sistem
makna cenderung bersifat langgeng dan tetap meskipun pola perilaku dapat
berbeda atau berubah. Sistem makna yang membangun identitas Indonesia adalah
nilai-nilai sebagaimana termaktub dalam Pancasila. Nilai-nilai Pancasila
mengandung nilai-nilai yang merupakan sistem makna yang mampu menyatukan
keragaman bangsa Indonesia. Nilai-nilai tersebut hidup dalam sendi kehidupan di
seluruh wilayah Indonesia. Tidak ada literatur yang menunjukkan bahwa ada
wilayah di Indonesia yang menganut paham ateis. Seluruh masyarakat memahami
adanya Realitas Tertinggi yang diwujudkan dalam ritual-ritual peribadatan. Ada
penyembahan bahkan pengorbanan yang ditujukan kepada Zat yang Supranatural
yaitu Tuhan. Masyarakat tidak menolak ketika‘Ketuhanan’ dijadikan sebagai dasar
fundamental negara ini.
Dari
penjelasan ini dapatlah dikatakan bahwa identitas bangsa Indonesia adalah
Pancasila itu sendiri, sehingga dapat pula dikatakan bahwa Pancasila adalah
karakter bangsa. Nilai-nilai tersebut bersifat esoterik (substansial), ketika
terjadi proses komunikasi, relasi dan interaksi dengan bangsa-bangsa lain
realitas eksoterik juga mengalami perkembangan.
Pemahaman
dan keyakinan agama berkembang sehingga terdapat paham baru di luar keyakinan
yang sebelumnya dianut. Pemahaman kemanusiaan juga berkembang karena
berkembangnya wacana tentang hak asasi manusia.
Kecintaan
pada tanah air kerajaannya dileburkan dalam kecintaan pada Indonesia.
Pemerintahan yang monarkhi berubah menjadi demokrasi. Konsep keadilan juga
melintasi tembok etnik.
Para
pendiri bangsa melalui sidang BPUPKI berusaha menggali nilainilai yang ada dan
hidup dalam masyarakat, nilai-nilai yang existing maupun nilai-nilai yang
menjadi harapan seluruh bangsa. Melalui pembahasan yang didasari niat tulus
merumuskan pondasi berdirinya negara ini maka muncullah Pancasila. Dengan
demikian karena Pancasila digali dari pandangan hidup bangsa, maka Pancasila
dapat dikatakan sebagai karakter sesungguhnya bangsa Indonesia.
Pancasila
dirumuskan melalui musyawarah bersama anggota BPUPKI yang diwakili oleh
berbagai wilayah dan penganut agama, bukan dipaksakan oleh suatu kekuatan/rezim
tertentu. Dengan demikian Pancasila betul-betul merupakan nilai dasar sekaligus
ideal untuk bangsa Indonesia. Nilai-nilai yang merupakan identitas sekaligus
karakter bangsa (Kaelan, 2007: 52).
Lima
nilai dasar yaitu ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan
adalah realitas yang hidup di Indonesia. Apabila kita tinggal di luar negeri
amatlah jarang kita mendengar suara lonceng gereja, adzan magrib atau suara
panggilan dari tempat ibadah agama. Suara itu di Indonesia sudah amat biasa.
Ada kesan nuansa religiusitas yang kental yang dalam kehidupan bangsa kita,
sebagai contoh masyarakat Bali setiap saat orang melakukan upacara sebagai
bentuk persembahan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, suasana sakralitas religius
amatlah terasa karena Gotong royong sebagai bentuk perwujudan dari kemanusiaan
dan persatuan juga tampak kental di Indonesia yang tidak ditemukan di negara
lain.
Kerjabakti
bersama dan ronda, misalnya, adalah salah satu contoh nyata karakter yang
membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lain, bangsa yang komunal tanpa
kehilangan hak individualnya.
0 Response to "Identitas Nasional Sebagai Karakter Bangsa "
Posting Komentar