Salah
satu persoalan yang dialami oleh negara-negara berkembang termasuk Indonesia
dalam mewujudkan integrasi nasional adalah masalah primordialisme yang masih
kuat.
Titik
pusat goncangan primordial biasanya berkisar pada beberapa hal, yaitu masalah
hubungan darah (kesukuan), jenis bangsa (ras), bahasa, daerah, agama, dan
kebiasaan. (Geertz, dalam: Sudarsono, 1982: 5-7).
Di
era globalisasi, tantangan itu bertambah oleh adanya tarikan global di mana
keberadaan negara-bangsa sering dirasa terlalu sempit untuk mewadahi tuntutan
dan kecenderungan global. Dengan demikian keberadaan negara berada dalam dua
tarikan sekaligus, yaitu tarikan dari luar berupa globalisasi yang cenderung
mangabaikan batas-batas negarabangsa, dan tarikan dari dalam berupa kecenderungan
menguatnya ikatanikatan yang sempit seperti ikatan etnis, kesukuan, atau
kedaerahan. Di situlah nasionalisme dan keberadaan negara nasional mengalami
tantangan yang semakin berat.
Namun
demikian harus tetap diyakini bahwa nasionalisme sebagai karakter bangsa tetap
diperlukan di era Indonesia merdeka sebagai kekuatan untuk menjaga eksistensi,
sekaligus mewujudkan taraf peradaban yang luhur, kekuatan yang tangguh, dan
mencapai negara-bangsa yang besar. Nasionalisme sebagai karakter semakin
diperlukan dalam menjaga harkat dan martabat bangsa di era globalisasi karena
gelombang “peradaban kesejagatan” ditandai oleh semakin kaburnya batas-batas
teritorial negara akibat gempuran informasi global yang nyaris tanpa hambatan
yang dihadirkan oleh jaringan teknologi informasi dan komunikasi. (Budimansyah
dan Suryadi, 2008:164).
Dengan
kondisi masyarakat Indonesia yang diwarnai oleh berbagai keanekaragaman, harus
disadari bahwa masyarakat Indonesia menyimpan potensi konflik yang sangat
besar, baik konflik yang bersifat vertikal maupun bersifat horizontal. Dalam
dimensi vertikal, sepanjang sejarah sejak proklamasi Indonesia hampir tidak
pernah lepas dari gejolak kedaerahan berupa tuntutan untuk memisahkan diri.
Sedangkan dalam dimensi horizontal, sering pula dijumpai adanya gejolak atau
pertentangan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat, baik konflik yang
bernuansa ras, kesukuan, keagamaan, atau antargolongan. Di samping itu juga
konflik yang bernuansa kecemburuan sosial.
Dalam
skala nasional, kasus Aceh, Papua, Ambon merupakan konflik yang bersifat
vertikal dengan target untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Kasus-kasus tersebut dapat dilihat sebagai konflik antara masyarakat
daerah dengan otoritas kekuasaan yang ada di pusat. Di samping masuknya
kepentingan-kepentingan tertentu dari masyarakat yang ada di daerah, munculnya
konflik tersebut merupakan ekspresi ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah
pusat yang diberlakukan di daerah.
Kebijakan
pemerintah pusat dianggap memunculkan kesenjangan antardaerah, sehingga ada
daerah-daerah tertentu yang sangat maju pembangunannya, sementara ada
daerah-daerah yang masih terbelakang. Dalam hubungan ini, isu dikhotomi
Jawa-luar Jawa sangat menonjol, di mana Jawa dianggap merepresentasikan pusat kekuasaan
yang kondisinya sangat maju, sementara banya daerah-daerah di luar Jawa yang
merasa menyumbangkan pendapatan yang besar pada negara, kondisinya masih
terbelakang. Dengan mengacu pada faktor-faktor terjadinya konflik kedaerahan
sebagaimana disebutkan di atas, konflik kedaerahan di Indonesia agaknya terkait
secara akumulatif dengan berbagai faktor tersebut.
Di
samping konflik vertikal tersebut, konflik horizontal juga sering muncul, baik
konflik yang berlatarbelakang keagamaan, kesukuan, antarkelompok atau golongan
dan semacamnya yang muncul dalam bentuk kerusuhan, perang antarsuku, pembakaran
rumah-rumah ibadah, dan sebagainya. Dalam hal ini dapat kita sebutkan
kasus-kasus yang terjadi di Poso, Sampit, Ambon, kasus di Lombok, dan masih ada
tempat-tempat yang lain.
Terjadinya
konflik horizontal biasanya juga merupakan akumulasi dari berbagai faktor baik
faktor kesukuan atau etnis, agama, ekonomi, sosial, dan sebagainya. Apa yang
tampak sebagai kerusuhan yang berlatarbelakang agama bisa jadi lebih terkait
dengan sentimen etnis atau kesukuan, begitu juga dengan konflik yang tampak
dengan latar belakang etnis atau keagamaan sebenarnya hanya merupakan
perwujudan dari kecemburuan sosial.
Sejak
awal berdirinya negara Indonesia, para pendiri negara menghendaki persatuan di
negara ini diwujudkan dengan menghargai terdapatnya perbedaan di dalamnya.
Artinya bahwa upaya mewujudkan integrasi nasional Indonesia dilakukan dengan
tetap memberi kesempatan kepada unsur-unsur perbedaan yang ada untuk dapat
tumbuh dan berkembang secara bersama-sama. Proses pengesahan Pembukaan UUD 1945
oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 yang bahannya diambil dari Naskah Piagam
Jakarta, dan di dalamnya terdapat rumusan dasar dasar negara Pancasila,
menunjukkan pada kita betapa tokoh-tokoh pendiri negara (the founding fathers)
pada waktu itu menghargai perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam kehidupan
masyarakat Indonesia. Para pendiri negara rela mengesampingkan persoalan
perbedaan-perbedaan yang ada demi membangun sebuah negara yang dapat melindungi
seluruh rakyat Indonesia.
Sejalan
dengan itu dipakailah semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang artinya walaupun
berbeda-beda tetapi tetap satu adanya. Semboyan tersebut sama maknanya dengan
istilah “unity in diversity”, yang
artinya bersatu dalam keanekaragaman, sebuah ungkapan yang menggambarkan cara
menyatukan secara demokratis suatu masyarakat yang di dalamnya diwarnai oleh
adanya berbagai perbedaan. Dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika tersebut segala
perbedaan dalam masyarakat ditanggapi bukan sebagai keadaan yang menghambat
persatuan dan kesatuan bangsa, melainkan sebagai kekayaan budaya yang dapat
dijadikan sumber pengayaan kebudayaan nasional kita.
Untuk
terwujudnya masyarakat yang menggambarkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, diperlukan
pandangan atau wawasan multikulturalisme. Multikulturalisme adalah pandangan
bahwa setiap kebudayaan memiliki nilai dan kedudukan yang sama dengan
kebudayaan lain, sehingga setiap kebudayaan berhak mendapatkan tempat
sebagaimana kebudayaan lainnya. (Baidhawy, 2005:5). Perwujudan dari
multikulturalisme adalah kesediaan orang-orang dari kebudayaan yang beragam
untuk hidup berdampingan secara damai.
Di
sini diperlukan sikap hidup yang memandang perbedaan di antara anggota
masyarakat sebagai kenyataan yang wajar dan tidak menjadikan perbedaan tersebut
sebagai alasan untuk berkonflik. Di samping itu perlu memandang kebudayaan
orang lain dari perspektif pemilik kebudayaan yang bersangkutan, dan bukan
memandang kebudayaan orang lain dari perspektif dirinya sendiri. Oleh karena
itu multikulturalisme menekankan pentingnya belajar tentang
kebudayaan-kebudayaan lain dan mencoba memahaminya secara penuh dan empatik
sehingga dapat menghargai kebudayaan-kebudayaan lain di samping kebudayaannya
sendiri.
0 Response to "Cara Mewujudkan Integrasi Nasional Indonesia "
Posting Komentar