Betapapun
sempurnanya sebuah konstitusi, pada suatu saat konstitusi itu bisa ketinggalan
jaman atau tidak sesuai lagi dengan dinamika dan perkembangan masyarakat.
Karena
itulah perubahan atau amandemen konstitusi merupakan sesuatu hal yang wajar dan
tidak perlu dianggap sebagai sesuatu yang istimewa.
Yang
penting bahwa perubahan itu didasarkan pada kepentingan negara dan bangsa dalam
arti yang sebenarnya, dan bukan hanya karena kepentingan politik sesaat dari
golongan atau kelompok tertentu. Secara teoritik perubahan undang-undang dasar
dapat terjadi melalui berbagai cara.
CF.
Strong menyebutkan 4 (empat) macam cara perubahan terhadap undang-undang dasar,
yaitu:
a.
oleh
kekuasaan legislatif tetapi dengan pembatasan-pembatasan tertentu,
b.
oleh
rakyat melalui referendum,
c.
oleh
sejumlah negara bagian-khususnya untuk negara serikat,
d.
dengan
kebiasaan ketatanegaraan, atau oleh suatu lembaga negara yang khusus dibentuk
untuk keperluan perubahan.
Sedangkan
KC. Wheare (2010) mengemukakan bahwa perubahan konstitusi dapat terjadi dengan
berbagai cara, yaitu:
a.
perubahan
resmi,
b.
penafsiran
hakim,
c.
kebiasaan
ketatanegaraan/konvensi.
Tentang
perubahan terhadap UUD 1945, sesuai pasal 37 ketentuan tentang perubahan itu
adalah sebagai berikut:
a.
Usul
perubahan pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang
Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3
dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
b.
Setiap
usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan
ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
c.
Untuk
mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat
dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat.
d.
Putusan
untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan
sekurang-kurangnya limapuluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
e.
Khusus
mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan
perubahan.
Sejak
memasuki era reformasi muncul arus pemikiran tentang keberadaan UUD 1945, yang
sangat berbeda dengan pemikiran yang ada sebelumnya. Secara garis besar arus
pemikiran tersebut dapat dikemukakan antara lain sebagai berikut:
1.
Pertama,
bahwa UUD 1945 mengandung rumusan pasal yang membuka peluang timbulnya
penafsiran ganda.
2.
Kedua,
bahwa UUD 1945 membawakan sifat executive heavy, yakni memberikan kekuasaan
yang terlalu besar kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif,
sehingga kekuasaan yang lain yaitu legislative dan yudikatif seakan-akan
tersubordinasi oleh kekuasaan eksekutif.
3.
Ketiga,
sistem pemerintahan menurut UUD 1945 yang tidak tegas di antara sistem
pemerintahan presidensiil dan sistem pemerintahan parlementer, sehingga ada
yang menyebutnya sebagai sistem quasi presidensiil.
4.
Keempat,
perlunya memberikan kekuasaan yang luas kepada pemerintah daerah untuk mengatur
dan menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, agar daerah dapat mengembangkan
diri sesuai dengan potensinya masing-masing.
5.
Kelima,
rumusan pasal-pasal tentang hak asasi manusia yang ada dalam UUD 1945 dirasa
kurang memadai lagi untuk mewadahi tuntutan perlindungan terhadap hak asasi
manusia dan warga negara seiring dengan perkembangan global.
Arus
pemikian sebagaimana dikemukakan di atas kemudian mewarnai perubahan
(amandemen) terhadap UUD 1945. Dengan demikian amandemen terhadap UUD 1945 pada
prinsipnya mengarah pada perubahan untuk menjawab persoalan-persoalan
sebagaimana dikemukakan di atas.
Dengan
adanya ketentuan pasal UUD 1945 yang dapat menimbulkan penafsiran ganda, telah
dilakukan amandemen dengan menetapkan rumusan baru yang lebih jelas dan
eksplisit. Misalnya masa jabatan presiden, sebelum amandemen dinyatakan bahwa
“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya
dapat dipilih kembali”. Dalam ketentuan tidak menyebutkan secara tegas dipilih
kembali untuk berapa kali masa jabatan.
Dengan
demikian dimaknai bahwa seseorang dapat dipilih menjadi Presiden atau Wakil
Presiden untuk beberapa kali masa jabatan tanpa batas. Dalam amandemen UUD 1945
dirumuskan secara tegas bahwa presiden hanya dapat dipilih kembali untuk satu
kali masa jabatan, yang berarti bahwa orang yang sama akan dapat memegang
jabatan sebagai presiden maksimal dua kali masa jabatan.
Terkait
dengan sifat executive heavy yang dibawakan oleh UUD 1945, pada amandemen
pertama telah dilakukan perubahan dan penambahan atas pasal 5 (1), pasal 7,
pasal 9, pasal 13 (2), pasal 14,
pasal
15, pasal 17 (2) (3), pasal 20, dan pasal 21, yang pada intinya mengatur
pembatasan jabatan presiden, mengubah kewenangan legislative yang semula di
tangan presiden menjadi kewenangan DPR, serta menambah beberapa substansi yang
membatasi kewenangan prseiden.
(Hidayat,
2002:1). Kewenangan-kewenangan tertentu yang sebelumnya dapat dilakukan sendiri
oleh presiden, setelah amandemen harus dilakukan dengan memperhatikan
pertimbangan dari lembaga yang lain, seperti mengangkat duta dan konsul harus
dengan pertimbangan DPR, memberi grasi dan rehabilitasi dengan pertimbangan Mahkamah
Agung, dan memberikan amnesti serta abolisi harus dengan pertimbangan DPR. Hal
itu jelas merupakan pengurangan terhadap kekwenangan presiden.
Berkaitan
dengan ketentuan sistem pemerintahan yang tidak tegas antara presidential dan
parlementer, melalui amandemen UUD 1945 ditegaskan system pemerintahan
presidential dengan munculnya ketentuan bahwa presiden dipilih secara langsung
oleh rakyat. (pasal 6A (1)). Dengan pemilihan secara langsung oleh rakyat,
kosekuensinya bahwa presiden tidak lagi bertanggungjawab kepada MPR.
MPR
hanya dapat memberhentikan presiden di tengah masa jabatannya setelah adanya
keputusan melanggar hukum yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi, yakni
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela, dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak lagi memenuhi syarat menduduki jabatannya. Presiden juga tidak
bertanggungjawab kepada DPR baik langsung maupun tidak langsung, sehingga
Presiden dan DPR tidak dapat saling menjatuhkan. Semua itu merupakan indikasi
sistem pemerintahan presidential.
Menyangkut
perlunya kesempatan yang lebih luas bagi daerah untuk mengatur urusan daerahnya
sendiri telah dilakukan amandemen terhadap pasal 18 UUD 1945 dengan menambahkan
beberapa ayat serta menambahkan pasal 18 A dan pasal 18 B. Dengan amandemen
tersebut pemerintah daerah diberi kesempatan untuk nenjalankan otonomi
seluasluasnya, adanya penghargaan dari pemerintah pusat atas keragaman daerah
dan kekhususan yang terdapat pada daerah-daerah tertentu, serta pembagian
kekuangan yang lebih adil antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Sedangkan
yang berkait dengan masalah hak asasi manusia sangat jelas tampak bahwa
amandemen terhadap UUD 1945 telah memasukkan cukup banyak rumusan-rumusan baru
tentang hak asasi manusia dan warga negara dengan menambahkan pasal 28 A sampai
dengan pasal 28 J.
Selanjutnya
perubahan terhadap UUD dapat ditelaah dari beberapa segi yaitu menyangkut
sistem perubahan dan prosedur/mekanisme perubahannya, bentuk hukum
perubahannya, serta substansi materi yang diubah. (Hidayat, 2002: 4).
Tentang
sistem perubahan dan prosedur perubahannya, amandemen terhadap UUD 1945
menggunakan landasan sistem dan prosedur yang ditentukan pasal 37 UUD 1945.
Mengenai bentuk hukumnya, secara teoritis dan praktek ketatanegaraan dikenal
adanya pola perubahan yang secara langsung dituangkan dalam teks UUD yang lama
dengan melakukan perubahan terhadap naskah aslinya (model Eropa Kontinental).
Di samping itu ada pola addendum dimana substansi perubahannya dituangkan dalam
suatu naskah yang terpisah dari naskah aslinya, sedangkan naskah asli itu
sendiri dibiarkan tetap dengan rumusan aslinya (model Amerika Serikat). Dilihat
dari aspek itu amandemen terhadap UUD 1945 dapat dikatakan mengikuti model
Amerika Serikat.
0 Response to "Macam-macam Cara Untuk Merubah Undang-undang Dasar / Konstitusi"
Posting Komentar