Edukasippkn.com
- Pada setiap tanggal 30 Oktober di Indonesia diperingati hari Oeang Republik
Indonesia (ORI). Peringatan hari uang nasional ataupun hari keuangan Republik
Indonesia ini tentu memiliki sejarah tersendiri bagi segenap bangsa Indonesia
tercinta.
Berikut
cuplikan Mengenang Detik-Detik Beredarnya Uang Republik Indonesia ke-69 tahun
2015 yang lalu:
Di hari ke-17 bulan Agustus
1945, bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Rakyat di seluruh
pelosok nusantara menyambut dengan kegembiraan tiada tara. Itu sebabnya mengapa
ketika tentara sekutu dan tentara belanda datang hendak menjajah kembali
Indonesia, rakyat menyambutnya dengan perlawanan senjata dan semboyan “merdeka”
atau “mati”.
Hari-hari sesudah
proklamasi, rakyat yang telah merdeka, masih menggunakan mata uang Jepang dan
uang Javasche Bank sebagai alat pembayaran.
Penggunaan kedua mata
uang tersebut, sungguh tidak sejalan dengan hakekat dari kemerdekaan. Sebabnya,
bangsa yang merdeka adalah bangsa yang berdaulat. Salah satu atribut dari
kedaulatan itu adalah memiliki mata uang sendiri, yang digunakan sebagai alat
pembayaran yang sah oleh segenap rakyatnya; bukan mata uang asing, apalagi mata
uang yang dikeluarkan oleh pemerintah yang pernah menjajahnya.
Oleh karena itu,
ditengah berkobarnya api perjuangan mempertahankan kemerdekaan, pemerintah
menetapkan undang-undang tentang pengeluaran uang Republik Indonesia, yaitu
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1946 dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1946.
Menteri Keuangan diberi kewenangan untuk menetapkan hal-hal yang berkaitan
dengan pengeluaran uang Republik Indonesia. Dengan Keputusan Nomor SS/1/35
Tanggal 29 Oktober 1946, menteri keuangan menyatakan bahwa uang jepang dan uang
javasche bank dinyatakan tidak berlaku. Sebagai gantinya, uang Republik Indonesia
ditetapkan sebagai alat pembayaran yang sah.
Berkenaan dengan
penetapan menteri keuangan itu, wakil presiden mohammad hatta dalam pidato
radio melalui RRI Yogyakarta tanggal 29 Oktober 1946 pukul 20.00 menyatakan : “Besok
tanggal 30 Oktober 1946 adalah suatu hari yang mengandung sejarah bagi tanah
air kita. Rakyat kita menghadap penghidupan baru. Besok mulai beredar uang
republik Indonesia sebagai satusatunya alat pembayaran yang sah. Mulai pukul 12
tengah malam nanti, uang Jepang yang selama ini beredar sebagai uang yang sah,
tidak laku lagi. Beserta dengan uang jepang itu ikut pula tidak berlaku uang De
Javasche Bank. Dengan ini tutuplah suatu masa dalam sejarah keuangan Republik Indonesia.
Masa yang penuh dengan penderitaan dan kesukaran bagi rakyat kita. Sejak mulai
besok kita akan berbelanja dengan uang kita sendiri, uang yang dikeluarkan oleh
Republik kita.”
Adapun
mengenai sejarah Hari Keuangan Republik Indonesia selengkapnya yang admin kutip
dari laman kemenkeu.go.id, baik dari masa sebelum kemerdekaan dan sesudah
kemerdekaan Republik Indonesi, selengkapnya sebagai berikut:
Di
Indonesia, sejarah pengelola keuangan pemerintahan sudah ada sejak masa lampau.
Tiap pemerintahan, dari zaman kerajaan sampai sekarang, memiliki pengelola
keuangan untuk dapat melaksanakan pembangunan perekonomian di pemerintahannya.
Pengelolaan keuangan pemerintahan disini meliputi semua milik pemerintahan atau
kekayaan yang dimiliki oleh suatu pemerintahan. Keuangan yang dikelola berasal
dari masyarakat yang berupa upeti, pajak, bea cukai, dan lain-lain.
Sebagai
bagian dari suatu pemerintahan, Kementerian Keuangan merupakan instansi
pemerintah yang mempunyai peranan vital di dalam suatu negara untuk melakukan
pembangunan perekonomian. Pembangunan ekonomi akan berjalan lancar apabila
disertai dengan administrasi yang baik dalam pengelolaan keuangan negara.
Peranan vital Kementerian Keuangan adalah mengelola keuangan negara dan
membantu pimpinan negara dalam bidang keuangan dan kekayaan negara. Oleh karena
itu, Kementerian Keuangan dapat dikatakan sebagai penjaga keuangan negara
(Nagara Dana Raksa).
Sebelum Kemerdekaan
Pengusiran
Portugis oleh Belanda menjadikan Belanda mempunyai tempat untuk menancapkan
kukunya di Hindia Belanda, dengan melimpahkan wewenang kepada VOC (Vereenigde
Oost-Indische Compagnie). VOC, yang pada saat itu dipimpin oleh Gubernur
Jenderal Jan Pieterzoon Coen (1619-1623 dan 1627-1629), diberi hak octrooi yang
salah satunya adalah mencetak uang dan melakukan kebijakan perekonomian. Sejak
tahun 1600-an, VOC mengeluarkan kebijakan untuk menambah isi kas negara dengan
menetapkan peraturan verplichte leverentie (kewajiban menyerahkan hasil bumi
pada VOC), contingenten (pajak hasil bumi, pembatasan jumlah tanaman
rempah-rempah agar harganya tinggi, dan preangerstelsel (kewajiban menanam
pohon kopi).
Pada
bulan maret 1809, setelah menjual tanah weltevreden, pemerintahan Daendels
memutuskan membangun sebuah istana yang berhadapan dengan lapangan parade
Waterlooplein. Istana ini rencananya digunakan sebagai pusat pemerintahan dan
dipakai untuk kepentingan gubernur jenderal, dalam rangka pemberian kebijakan.
Selain itu, gedung ini juga difungsikan sebagai tempat tahanan.
Sebagai
pengganti Daendels, Gubernur Jansen kurang menaruh perhatian pada pembangunan
gedung, sehingga selama masa jabatannya pembangunan gedung itu terlantar.
Kemudian,
pembangunan istana ini dilanjutkan oleh Letnan Kolonel J.C Schultze, perwira
yang berpengalaman membangun gedung Societet Harmonie di Batavia. Namun,
pembangunan istana sempat terhenti karena Hindia Belanda beralih kekuasan ke
Inggris.
Pemerintahan
Inggris melalui Thomas Stamford Raffles (1811-1816) mengeluarkan kebijakan baru
dengan nama Landrent (pajak tanah), dengan mengubah pola pajak bumi yang
diterapkan Belanda sebelumnya. Harapan Raffles mengeluarkan kebijakan tersebut,
agar masyarakat Hindia Belanda memiliki uang untuk membeli produk Inggris. Pada
intinya adalah memperluas pasar bagi produk yang dihasilkan dan menyerap hasil
produksi oleh penduduk. Kebijakan yang dilakukan Raffles mengalami kegagalan
karena tidak adanya dukungan dari raja dan bangsawan setempat, dan penduduk
kurang mengerti mengenai uang dan perhitungan pajak.
Hindia
Belanda kemudian dikuasai kembali oleh Belanda setelah melalui kesepakatan
Inggris- Belanda. Pada periode ini, perbaikan perekonomian mulai dilaksanakan.
Jenderal Du Bus (1826), sebagai Gubernur Jenderal pada masa itu, melanjutkan
pembangunan istana tersebut dengan bantuan Ir. Tromp, yang selesai pada 1828.
Bangunan tersebut digunakan sebagai kantor pemerintahan Hindia Belanda, yang
diresmikan sendiri oleh Gubernur Du Bus. Di tahun yang sama, Du Bus juga
mendirikan De Javasche Bank dengan alasan kondisi keuangan di Hindia Belanda
dianggap memerlukan penertiban dan pengaturan sistem pembayaran.
Pada
tahun 1836, atas inisiatifnya, van Den Bosch mulai memberlakukan cultuurstelsel
(sistem tanam paksa) yang bertujuan untuk memproduksi berbagai komoditi yang
memiliki permintaan di pasar dunia. Sistem ini merupakan pengganti sistem
landrent dalam rangka mengenalkan penggunaan uang di masyarakat Hindia Belanda.
Cultuurstelsel dan kerja rodi (kerja paksa) mampu mengenalkan ekonomi uang pada
masyarakat pedesaan. Hal ini dilihat dengan meningkatnya jumlah penduduk yang
melakukan kegiatan ekonomi. Reformasi keuangan sudah berkali-kali dilakukan,
tetapi belum menghasilkan keuangan yang sehat.
Kebijakan
selanjutnya yang dilakukan pemeritahan Belanda di Hindia Belanda adalah Laissez
faire laissez passer, yaitu perekonomian diserahkan pada pihak swasta (kaum
kapitalis). Kebijakan ini dilakukan atas desakan kaum Humanis Belanda yang
menginginkan perubahan nasib warga agar lebih baik. Peraturan agraria baru ini
bukannya mengubah menjadi lebih baik melainkan menimbulkan penderitaan yang
tidak layak. Pada masa ini Departement van Financien dibentuk dan bertempat di
istana Daendels karena pusat pemerintahan berpindah ke tempat lain. Gedung ini
dijadikan sebagai tempat pengkoordinasian pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian
dukungan administrasif keuangan ke tempat lain.
Kekurangan
tenaga ahli keuangan membuat pemerintah Belanda menyelenggarakan berbagai
kursus bagi orang Belanda dan orang Pribumi yang dipandang mampu. Kursus yang
diikuti adalah kursus ajun kontrolir dan treasury / perbendaharaan. Terpusatnya
tempat pengelolaan keuangan dimaksudkan untuk memudahkan pengontrolan pemasukan
dan pengeluaran negara. Terjadinya keadaan ekonomi yang memprihatinkan adalah
alasan utama dibentuknya departement of financien.
Pecahnya
perang dunia II di Eropa yang terus menjalar hingga ke wilayah Asia
Pasifik, membuat kedudukan Indonesia
sebagai jajahan Belanda sangat sulit, ditambah dengan terjepitnya pemerintah
Belanda akibat serbuan Jepang. Menjelang kedatangan Jepang di Pulau jawa,
Presiden DJB, Dr. G.G. van Buttingha Wichers berhasil memindahkan semua
cadangan emas ke Australia dan Afrika Selatan melalui pelabuhan Cilacap.
Selama
menduduki Indonesia, Jepang menjadikan kota Jakarta sebagai pusat pemerintahan.
Gedung Departement of Finance dijadikan tempat untuk melakukan aktivitas
keuangan sehari-hari. Gedung ini dijadikan sebagai tempat pengolahan keuangan
dan pemutusan kebijakan ekonomi oleh Jepang. Pada 7 Maret 1943, patung Jan
Pieterzoon Coen yang berada di depan gedung Department of Financien dihancurkan
Jepang karena dianggap sebagai lambang penguasa Batavia.
Banyak
dari tenaga ahli keuangan Belanda ditawan oleh Jepang, dan beberapa orang yang
ahli dan berpengalaman dijadikan sebagai tenaga pengajar keuangan pada putra-putri
Indonesia. Kekurangan tenaga keuangan menjadikan Jepang mendidik rakyat Hindia
Belanda untuk mengikuti pendidikan keuangan. Selama 1942-1945, Jepang
menerapkan beberapa kebijakan seperti, memaksa penyerahan seluruh aset bank,
melakukan ordonansi berupa perintah likuidasi untuk seluruh Bank Belanda,
Inggris, dan Cina. Selain itu, Jepang juga melakukan invasion money senilai 2,4
milyar gulden di pulau Jawa hingga 8 milyar gulden (pada tahun 1946). Tujuan
invasion money yang dilakukan oleh Jepang adalah menghancurkan nilai mata uang
Belanda yang sudah terlanjur beredar di Hindia Belanda.
Fokus
pendudukan Jepang di Hindia Belanda terhadap perang pasifik menyebabkan Jepang
melakukan kebijakan yang membuat terjadinya krisis keuangan. Jepang melakukan
perombakan besar-besaran dalam struktur ekonomi masyarakat. Kesejahteraan
rakyat merosot tajam dan terjadi bencana
kekurangan pangan karena produksi minyak jarak. Jepang melakukan pengurasan
kekayaan alam dan hasil bumi, dan menjadikan para tenaga produktif sebagai
romusha. Hiper inflasi yang terjadi pasa masa ini menyebabkan pengeluaran
bertambah besar, sedangkan pemasukan pajak dan bea masuk turun drastis.
Kebijakan ala tentara Dai Nippon merugikan penduduk Indonesia.
Masa Kemerdekaan
Setelah
Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945, Indonesia segera memproklamirkan
kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Kota Jakarta dijadikan
pusat pemerintahan. Pada masa ini, Gedung Department of Financien masih
berfungsi sebagai pusat kegiatan pengolahan keuangan sehari-hari. Keadaan
ekonomi keuangan awal kemerdekaan amat buruk, dimana terjadi inflasi yang
tinggi yang disebabkan beredarnya tiga buah mata uang yang berlaku di wilayah
RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan
mata uang pendudukan Jepang. Mata uang Jepang yang beredar sekitar 4 Milyar dan
uang merah NICA menyebabkan terjadinya inflasi tinggi. Permasalahan ekonomi ini
menyebabkan diadakannya rapat tanggal 2
september 1945 oleh BPKKP dan BKR di karesidenan Surabaya. Mereka
sama-sama menyadari, disamping mempertahankan kemerdekaan selain kekuatan
bersenjata juga diperlukan kekuatan dana untuk membiayai perjuangan itu.
Dalam
wacana mencari dana, terpetik berita mengenai Dr,Samsi , seorang ekonom dan
tokoh pergerakan cukup terkenal di Surabaya. Pada kabinet presidensial pertama
RI 19 Agustus 1945, Soekarno mengangkat Dr. Samsi sebagai Menteri Keuangan. Dr.
Samsi memiliki peranan besar dalam usaha mencari dana guna membiayai perjuangan
RI. Ia mendapatkan informasi bahwa di dalam Bank Escompto Surabaya tersimpan
uang peninggalan pemerintahan Hindia Belanda yang dikuasai Jepang. Kedekatannya
dengan pemerintah Jepang memudahkannya untuk melakukan upaya pencairan dana,
sehingga dapat digunakan untuk perjuangan. Pada 26 September 1945 Dr. Samsi
mengundurkan diri dan digantikan oleh A.A. Maramis.
24
Oktober 1945, Menteri Keuangan A.A Maramis menginstruksikan tim serikat buruh
G. Kolff selaku tim pencari data untuk menemukan tempat percetakan uang dengan
teknologi yang relatif modern. Hasilnya, percetakan G. Kolff Jakarta dan
Nederlands Indische Mataaalwaren en Emballage Fabrieken (NIMEF) Malang dianggap
memenuhi persyaratan. Menteri pun melakukan penetapan pembentukan Panitia
Penyelenggaraan Percetakan Uang Kertas Republik Indonesia yang diketuai oleh
TBR Sabarudin. Akhirnya, uang ORI (Oeang Republik Indonesia) pertama berhasil
dicetak. Upaya percetakan ORI ini ditangani oleh RAS Winarno dan Joenet Ramli.
Pada
14 November 1945 di masa kabinet Sjahrir I, Menteri keuangan dijabat oleh Mr.
Sunarjo Kolopaking. Mr. Sunarjo mengikuti konferensi Ekonomi Februari 1946 yang
bertujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat, dalam rangka menanggulangi
masalah produksi dan distribusi makanan, sandang serta status dan administrasi
perkebunan-perkebunan. Pada 6 Maret 1946, panglima AFNEI (Allied Forces for
Netherlands East Indies) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah yang
dikuasai sekutu. Hal ini menyebabkan kabinet Sjahrir berupaya untuk
menindaklanjuti pengumuman NICA tersebut untuk mengedarkan ORI. Hanya saja,
peredaran ORI tersebut membutuhkan dana. Langkah awal kabinet Sjahrir adalah
menggantikan Menteri Keuangan oleh Ir. Surachman Tjokroadisurjo. Upaya utama
yang dilakukan oleh Ir. Surachman untuk mengatasi kesulitan ekonomi adalah,
melakukan Program Pinjaman Nasional dengan persetujuan BP-KNIP pada Juli 1946.
Selain itu, ia juga melakukan penembusan blokade dengan diplomasi beras ke
India dan mengadakan kontrak dengan perusahaan swasta Amerika yang dirintis
oleh para pengusaha Amerika Serikat yang dirintis oleh badan semi pemerintah
bernama Banking and Trading Coorporations dibawah pimpinan Soemitro
Djojohadikusumo. Ia juga menembus blokade Sumatra dengan tujuan ke Singapura
dan Malaysia, dengan membuka perwakilan dagang resmi yang bernama Indonesia
Office (Indoff).
Pada
2 Oktober 1946, Menteri keuangan digantikan oleh Mr. Sjafruddin Prawiranegara.
Akhirnya, usaha penerbitan uang sendiri memperlihatkan hasilnya dengan
diterbitkannya EMISI PERTAMA uang kertas ORI pada tanggal 30 Oktober 1946.
Pemerintah Indonesia menyatakan tanggal tersebut sebagai tanggal beredarnya
Oeang Republik Indonesia (ORI) dimana uang Jepang, uang NICA, dan uang Javasche
Bank tidak berlaku lagi. ORI pun diterima dengan perasaan bangga oleh seluruh
rakyat Indonesia. Mata uang yang dicetak itu ditandatangani oleh Alexander
Andries Maramis (15 mata uang periode 1945-1947).
30 Oktober disahkan
sebagai Hari Keuangan Republik Indonesia oleh presiden berdasarkan lahirnya
uang emisi pertama Republik Indonesia, yang membanggakan seluruh rakyat Indonesia. Uang adalah lambang
utama suatu negara merdeka serta sebagai alat untuk memperkenalkan diri kepada
khalayak umum. Untuk menghargai jasa A.A Maramis, maka gedung Department of
Financien atau gedung Daendels diberi nama gedung A.A Maramis. Gedung ini
menjadi pusat kerja Menteri Keuangan selaku pimpinan Departemen Keuangan
Republik Indonesia saat menjalankan tugasnya sehari-hari. Seiring dengan
kebutuhan akan koordinasi antar unit, sejak tahun 2007 gedung Menteri Keuangan
dipindah ke Gedung Djuanda 1 yang berlokasi di seberang gedung A.A Maramis.
Menindaklanjuti
Undang-Undang Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara juncto Peraturan
Presiden Nomor 47 tahun 2009 tentang pembentukan dan Organisasi Kementerian
Negara, serta merujuk pada surat edaran Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan
Nomor SE-11 MK.1/2010 tentang perubahan Nomenklatur Departemen Keuangan menjadi
Kementerian keuangan, maka sejak 2009, Departemen Keuangan resmi berubah nama menjadi
Kementerian Keuangan.
0 Response to "Sejarah Peringatan Hari Oeang Republik Indonesia (ORI) Setiap Tanggal 30 Oktober "
Posting Komentar