Bertolak dari pemaparan sejarah pola budaya politik
masyarakat Indonesia di atas, Afan Gaffar (2002: 106) merumuskan bahwa ada tiga
ciri dominan yang terdapat pada budaya politik Indonesia, yaitu sebagai
berikut:
a.
Hirarki yang tegar/ketat
Masyarakat Jawa dan sebagian besar masyarakat lain
di Indonesia pada dasarnya bersifat hirarkis. Stratifikasi sosial yang hirarkis
ini tampak dari adanya pemilahan yang tegas antara penguasa dengan rakyat
biasa. Kedua strata tersebut terpisah oleh tatanan hirarkis yang sangat ketat. Dalam
kehidupan politik, pengaruh stratifikasi sosial semacam itu antara lain
terlihat pada cara penguasa memandang diri dan rakyatnya.
Penguasa cenderung menganggap dirinya sebagai pengayom yang baik hati. Sebaliknya rakyat dianggap sebagai pihak yang rendah derajatnya. Implikasi negatif lainnya dapat dilihat dalam soal kebijakan publik. Penguasa atau pemerintah adalah pihak yang berhak merumuskan dan menentukan kebijakan publik, sedangkan rakyat cenderung tidak diajak berdialog dan kurang didengar apresiasinya.
Penguasa cenderung menganggap dirinya sebagai pengayom yang baik hati. Sebaliknya rakyat dianggap sebagai pihak yang rendah derajatnya. Implikasi negatif lainnya dapat dilihat dalam soal kebijakan publik. Penguasa atau pemerintah adalah pihak yang berhak merumuskan dan menentukan kebijakan publik, sedangkan rakyat cenderung tidak diajak berdialog dan kurang didengar apresiasinya.
b.
Kecenderungan patronage
Pola hubungan patronage merupakan salah satu budaya
politik yang menonjol di Indonesia. Hubungan semacam ini oleh James Scott
disebut sebagai pola hubungan patron-client.
Pola hubungan ini sifatnya individual. Antara dua individu, yaitu patron dan
client, terjadi interaksi timbal-balik dengan mempertukarkan sumber daya yang
dimiliki masing-masing. Pihak patron memiliki sumber daya berupa kekuasaan,
kedudukan, dan materi, sedangkan pihak client memiliki sumber daya berupa
tenaga, dukungan, dan kesetiaan.
Pola hubungan semacam ini akan tetap terjaga selama
kedua belah pihak memiliki sumber daya tersebut. Kalau tidak demikian,
masing-masing pihak akan mencari pihak lain yang akan dijadikan entah sebagai
patron ataupun sebagai client. Meski demikian, karena pada umumnya pihak patron
memiliki sumber daya yang lebih besar dan kuat, pola hubungan semacam ini
cenderung lebih menguntungkan pihak patron.
c.
Kecenderungan neo-patrimonialistik
Salah satu kecenderungan dalam kehidupan politik di
Indonesia adalah adanya kecenderungan munculnya budaya politik yang bersifat
neopatrimonialistik, artinya, meskipun memiliki atribut yang bersifat modern
dan rasionalistik seperti birokrasi, perilaku negara masih memperlihatkan
tradisi dan budaya politik yang berkarakter patrimonial.
0 Response to "Karakteristik / Ciri-ciri Budaya Politik Indonesia"
Posting Komentar