Dalam pluralisme kebudayaan, tiap kebudayaan
dipandang otonom dan ditanggapi apa adanya sehingga kebudayaan yang dominan
dianggap selayaknya dominan karena pendukungnya yang mungkin lebih banyak. Hal
ini sudah ditengarai hampir seabad lalu oleh JS Furnivall (1938), ahli
kebijakan ekonomi Hindia Belanda, dalam The
Netherlands Indies: A Study in Political Economy.
Dalam pikiran bangsa kita yang majemuk, hadir
kotak-kotak kebudayaan yang tegas batas-batasnya dan kerap diwarnai stereotip
dan prasangka. Kotak-kotak kebudayaan itu tidak hanya berbasis etnik atau
agama, tetapi juga kepentingan politik berjangka pendek maupun panjang. Hal ini
mewujudkan wawasan pikiran yang sempit karena kurangnya ruang berpikir tentang
keberadaan pihak lain di luar kelompok sendiri. Terbentuknya banyak partai
politik adalah salah satu indikasi. Pluralisme kebudayaan adalah tantangan
besar dalam membangun demokrasi.
Demokrasi adalah proses kebudayaan yang menuntut
keyakinan tiap warga negara untuk saling menghargai, membangun, dan memelihara
toleransi, kesediaan untuk menerima kebenaran pihak lain, dan mengaku kalah
dalam pemilu jika memang kalah. Demokrasi bukan konsep hitam-putih, tetapi
proses dialog antarkebudayaan. Mewujudkan demokrasi dalam pluralisme kebudayaan
itu amat mungkin karena banyak bangsa lain yang juga pluralistik berhasil
membangun demokrasi.
Fenomena menjelang dan pascapemilu lalu menunjukkan,
kita masih jauh dari budaya demokrasi yang dicitakan. Mungkin kita baru sebatas
membaca sebagian buku teks tentang demokrasi Barat dan mempraktikkannya di
negeri ini dan merasa seolah kita sudah mempraktikkan demokrasi. Kita baru
sebatas menafsirkan demokrasi sebagai proporsi jumlah kursi di DPR dan rakyat
datang ke TPS mencontreng gambar partai dan calon anggota legislatif.
Padahal, demokrasi sebagai kebudayaan adalah suatu
sistem nilai dalam pikiran dan kehidupan tentang bagaimana memandang orang lain
dalam kesetaraan, menghargai hak orang lain seperti menghargai hak sendiri,
yang memandang negeri ini sebagai tempat kehidupan yang sama bagi tiap warga.
Demokrasi sebagai suprastruktur, bukan sekadar infrastruktur dan struktur
belaka. Kontras-kontras dalam politik tentu kontraproduktif bagi pembangunan
demokrasi.
Dalam dunia politik yang mengutamakan partisipasi,
orang hendaknya memahami dua hal penting , yaitu mengenai komunikasi politik
dan perilaku politik. Hal ini dikarenakan komunikasi politik merupakan salah
satu input dari sistem politik, yang menggambarkan proses informasi-informasi
politik. Komunikasi politik menyajikan semua kegiatan dari sistem politik sehingga
aspirasi dan kepentingan dikonversikan menjadi berbagai kebijaksanaan.
Selain menghubungkan semua bagian dari sistem
politik, komunikasi politik dapat pula menentukan kualitas tanggapan dari
sistem politik itu sendiri. Apabila komunikasi itu berjalan dengan lancar,
wajar, dan sehat, maka akan meningkatkan kualitas responsif yang tinggi
terhadap perkembangan aspirasi dan kepentingan masyarakat serta tuntutan
perubahan zaman.
0 Response to "Pluralisme kebudayaan"
Posting Komentar